5 tahun kemudian.
Jihan terbangun dari tidurnya, lagi-lagi dirinya memimpikan kejadian 5 tahun lalu dimana Alex terkena tembakan dan tubuh cowok itu terluka.
Setelah ke psikolog, Jihan sebenarnya sudah bisa perlahan melupakan trauma nya itu dan mimpi buruk itu jarang lagi terjadi. Namun entah mengapa, akhir-akhir ini mimpi itu sering muncul lagi.
Jihan tak tahu apa yang terjadi, namun setelah dirinya kembali kontrol, psikolog itu berkata kemungkinan ada sesuatu yang men-trigger Jihan sehingga kembali menggingat memori kelam itu.
"Dek sarapan udah siap."
Jihan bangkit dari posisi berbaringnya saat mendengar suara abangnya dari luar kamar, dengan pelan dirinya mengusap keringat di dahinya, lalu mengambil gelas berisi air minum di samping nakas dan meminunnya.
Jihan terdiam sejenak, mengingat kembali mimpi itu.
"Alex.. kamu apa kabar?"
Lirih Jihan, sambil menatap sendu ke arah depan.Mengusap wajahnya pelan, Jihan akhirnya benar-benar bangkit dari kasurnya menuju ke kamar mandi untuk cuci muka terlebih dahulu.
Setelah mencuci muka, barulah Jihan melangkahkan kakinya keluar kamar dan menuju ke ruang makan.
5 tahun yang lalu, Saat Brian sudah sadar dan boleh dinyatakan pulang oleh dokter.
Jihan langsung memaksa abangnya itu untuk berobat ke psikiater, meskipun awalnya abangnya menolak dengan tegas, akhirnya cowok itu bersedia mengikuti saran Jihan saat Jihan berkata ingin tinggal kembali bersama abangnya dan ingin menjalani hidup normal. Jihan juga berkata seberapa besarnya rasa sayang Jihan kepada abangnya. Melihat abangnya seperti ini, membuat hati Jihan benar-benar sakit.
Namun, meskipun sudah 5 tahun berlalu, Brian masih juga menjaga jarak dengan Jihan. Setiap Jihan tanya alasan cowok itu selalu tak ingin di dekat Jihan, Brian selalu mengalihkan pembicaraan.
Tapi yang Jihan yakini pasti, abangnya tak ingin mendekati Jihan karena Brian takut hal itu kembali terjadi.
Brian masih benar-benqr takut jika seandainya dirinya tak sengaja melukai Jihan lagi.
"Abang bikin apa?"
Jihan menghampiri abangnya, lalu merangkul lengan cowok itu, ingin bermanja-manja dengan abangnya, sebelum abangnya refleks langsung menarik lengannya dari dekapan Jihan.Brian berdehem canggung.
"Duduk disana." Ucap abangnya kaku, lalu menunjuk kursi makan di seberang.
Jihan lagi-lagi menatap abangnya sedih, berkali-kali jihan ingin mendekati abangnya, selalu saja abangnya menjauh seperti itu.
Brian memalingkan wajahnya, tak ingin melihat raut menyedihkan adiknya saat dirinya kembali menolak kedekatan yang dilakukan adiknya tadi.
Brian tak ingin kejadian kelam kembali terulang, sunpah demi tuhan dirinya benar-benar takut akan melukai Jihan lagi seperti beberapa tahun yang lalu.
"Abang hari ini ada kuliah?"
Jihan bertanya sambil menyuapkan nasi goreng di piringnya.
Brian terlihat menggeleng. "Ga ada kelas."
Setelah Jihan lulus kuliah dan bekerja, Jihan mendesak abangnya untuk berkuliah, biar dirinya saja yang begantian membayar biaya kuliah abangnya, selama ini abangnya yang selalu membiayai Jihan dari saat ibu mereka meninggal sampai Jihan berkuliah.
Meskipun saat ini abangnya sudah bekerja dan menghasilkan uang, kuliah tetap yang terpenting, jadi Jihan terus memaksa abangnya agar mau kuliah, biar Jihan yang membantu membayar kuliah abangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Alex, Count Me In [END]
Ficção Geral[Maaf, cerita ini tidak untuk diterbitkan🙏🏻] Jihan mengetuk pintu unit apartment Alex, cowok yang tinggal berhadapan dengan unit apartment Jihan. Pipi cewek itu terlihat lebam dengan air mata mengalir, namun herannya wajah cewek itu terlihat datar...