28.

85.9K 7.2K 467
                                    

Jihan duduk dalam diam, terlihat kepala cewek itu menunduk sambil mengusap air matanya yang  sedari tadi tak berhenti mengalir.

Sekarang— Jihan, Alex, dan teman Brian yang Jihan tak ketahui namanya itu— tengah berada di depan ruangan UGD, menunggu kabar selanjutnya dari dokter.

Alex yang berdiri di samping Jihan, menundukkan kepalanya, melirik Jihan yang sedari tadi tak juga bersuara, hanya tangis cewek itu yang terdengar.

Setiap seseorang mengajaknya berbicara, Jihan dengan raut wajah bingung hanya menjawab dengan deheman seperti orang yang benar-benar ling-lung.

Beruntung ada teman Brian disini, yang mengetahui segala tentang Brian dan menjawab semua pertanyaan yang dokter dan suster tanyakan kepada dirinya.

Sedangkan Alex, cowok itu membantu dalam urusan resgistrasi rumah sakit.

"Gue Tristan."
Teman Brian tiba-tiba bersuara, kepalanya menoleh kearah Jihan yang duduk tepat di sampingnya.

Jihan ikut menoleh, namun sama sekali tak ada ekspresi tergambar di wajahnya, hanya raut datar. Tak lama Jihan menatap Tristan dengan raut wajah bingung, sebelum menjawab dengan, "Ah? Oh iya." Ucap cewek itu, yang setelahnya langsung menganggukkan kepalanya pelan.

Setelah percakapan singkat itu, keheningan kembali terjadi selama beberapa menit.

Sebelum Tristan kembali membuka suaranya,

"Jihan.... Gue pikir lo harus tau ini sekarang."
Tristan berbicara pelan tanpa menatap Jihan.

"Abang lo, sebenarnya—- sakit jiwa."
Ucapan cowok itu terhenti.

Sebenarnya Tristan sedikit tak tega membicarakan ini kepada Jihan disaat Jihan tengah berada dikondisi seperti ini. Tapi Tristan harus secepatnya memberi tahu Jihan apa yang terjadi kepada abangnya itu.

"Gue tau dia udah keterlaluan banget selalu mukul lo selama ini."

"Tapi Ji— Lo harus tau, setiap goresan luka yang dia bikin di tubuh lo, setiap luka itu juga dia bakal bales 2x lipat sama tubuhnya sendiri."

"Percaya ama gue—
—-Luka dia.. lebih parah dari lo Ji."
Tristan berucap lirih.

Jihan yang berada di sampingnya, masih terdiam mendengar kata per-kata yang Tristan ucapkan sambil menunduk, entah saat ini cewek itu bisa mengerti apa yang Tristan ucapan atau tidak.

Namun tangan Jihan yang berada di atas paha nya terlihat mengepal.

"Gue ga tau kenapa ini bisa terjadi, gue baru sadar pas setahun yang lalu. Pas dia pertama kali nampar lo, ada gue disitu."

Tristan terus menjelaskan kepada Jihan tanpa menatap cewek itu, tak berani melihat raut wajah Jihan saat ini.

"Setelah lo ga ada di apart, dia tiba-tiba nampar dirinya sendiri... berkali-kali. Mata nya kosong, raut penyesalan terlihat jelas."

"Gue bingung banget saat itu, tapi gue hirauin, gue mikir dia ngelakuin itu mungkin karena menyesal."

"Tapi semakin hari, kelakuan dia semakin parah. Setiap dia selesai nyakitin lo, dia selalu ngelakuin hal yang sama pada dirinya sendiri, lebih parah. Gue sampe ga kuat ngeliatnya Ji."

Tristan menyatukan kedua tangannya di atas paha, mempersiapkan dirinya untuk kembali memjelaskan kepada Jihan.

"Ternyata setelah gue tanya ke sepupu gue yang psikiater, dia bilang... abang lo butuh ke psikiater."

"Dia jelas sakit Ji, tapi setiap gue mau ajak dia psikiater, dia selalu nolak."

"Katanya dia takut.. "

Dear Alex, Count Me In [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang