"Lo gak sadar? Kita sama-sama hancur. Gak ada keharmonisan dikeluarga kita. Tapi lo bermimpi buat membangun rumah tangga sama gue? Lo pikir bisa? Lo yakin gak akan buat tuh anak menderita dengan kelakuan kita di masa depan? Lo yakin bisa jadi orang...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kin--"
"Gue hamil"
Mengabaikan ekspresi terkejut dari sosok yang baru ditariknya paksa, perempuan itu kembali melanjutkan perkataannya.
"Siapin uang, gue udah pilih tempat. Jangan lari dari tanggung jawab, gue gak ada uang," lanjut Kina berbalik berniat melangkah pergi, tapi sebelum itu pemuda di belakangnya lebih dulu mencekalnya.
"Lo_"
Zino memejamkan matanya. Mengusap kasar wajahnya saat Kina hanya menatapnya datar tanpa ekspresi.
"Lo beneran hamil?" lanjutnya berhasil sedikit merubah raut wajah Kina.
Menghela pelan, Kina mendekat dan menarik tangan Zino agar menyentuh permukaan perutnya yang terbalut kain.
"Lo kira ini lemak?"
"Usianya mungkin udah lebih dari dua bulan. Kalau dibiarin lebih lama bakal makin sulit nyingkirinnya," katanya menatap raut wajah Zino yang menegang kaku dibuatnya.
Pria itu terdiam tanpa ekspresi dengan tatapan terpaku pada tangan yang menyentuh perut mantan pacarnya saat SMA itu.
Memutar bola matanya malas, Kina lalu menjauhkan tangan Zino dari perutnya.
Zino seperti tercekik. Pemuda itu menatap dalam perempuan di depannya. "Kin_"
"Gak usah mikir yang enggak-enggak. Jangan mempersulit keadaan. Lo cukup siapin biaya," tegas Kina tak ingin mendengar Zino melanjutkan ucapannya.
"Tapi Kin_ lo tega?"
"Tega gak tega gue harus tega. Lo yang bikin gue begini. Gue lakuin itu bukan atas kemauan gue sendiri. Gak ada rasa senang waktu ngelakuinnya, jadi gue seharusnya gak perlu ngerasa bersalah waktu bunuhnya. Ya kalau lo mungkin gak peduli, karena cowok biasanya cuman mau enaknya doang," panjang Kina menjawab Zino yang menarik rambutnya frustasi.
"Gue gak kayak gitu_" cicit pelan Zino.
"Gue gak peduli"
Hancur. Zino tak pernah menduga ini sebelumnya. Merusak wanita dan harus bersikap seolah semuanya akan baik-baik saja. Betapa bajingannya dirinya pada seorang yang dulu pernah menjadi kekasihnya itu.
Di sini yang salah hanya dirinya. Kina tak salah di sini. Bahkan keputusan untuk membunuh janin itu pun bukan kesalahan perempuan itu.
Tentu saja Kina memutuskan cara itu. Zino tau benar bagaimana keluarga Kina. Perempuan itu akan mendapatkan makian dan cacian dari keluarganya jika sampai mereka tahu.
Tak akan ada seorangpun yang berada di sisinya di saat dirinya hancur. Mungkin saja Kina justru diminta berhenti kuliah.