Pagi ini Kina terbangun tanpa menemukan Zino di sampingnya. Nampaknya pria itu masih marah dengannya. Mungkin saja Zino tertidur di kamar tamu atau tempat komputer.
Menyandarkan tubuhnya ke belakang, Kina menunduk menatap perutnya. Lagi-lagi air matanya jatuh. Apalagi saat melihat bajunya tersingkap dan menampakkan perut bulatnya yang terdapat stretch mark semenjak perutnya membesar.
Padahal seingatnya ia sudah rutin memakai krim yang telah dibelikan Zino untuknya. Tapi tetap saja tak berefek apapun pada bagian tubuhnya yang membengkak itu.
"Bundamu bukan orang yang baik"
"Maaf... tapi orang yang bakal jadi Bundamu ternyata belum siap secara mental untuk jadi orang tua," lirihnya mengusap lelehan air mata yang membasahi pipinya.
CEKLEK...
Mendengar pintu terbuka, buru-buru Kina kembali menenggelamkan dirinya dibalik selimut. Ia tak bisa menatap Suaminya itu dengan mata bengkaknya yang menangis semalaman. Ditambah pagi ini juga Kina sudah menangis kembali.
Langkah kaki terdengar mendekat, Kina mengeratkan rematannya pada selimut saat sosok itu terasa tepat di samping tempat tidurnya.
CUP...
Tubuh Kina mematung...
Apa barusan...?
Zino mencium keningnya...?"Maaf..." gumam pria itu terdengar penuh penyesalan sebelum melangkahkan kaki kembali untuk keluar kamar.
Kina mendudukkan dirinya setelah Zino pergi. Ia memegang keningnya yang baru saja diberi kecupan oleh Suaminya.
Meneguk kasar ludahnya, tangan Kina beralih memegang dadanya. Jantungnya berdegup begitu kencang saat ini. Entah Zino tadi mendengarnya atau tidak.
__Zino berangkat bekerja tanpa sarapan. Tujuan pertamanya saat ini adalah ke tempat perusahaan kopi milik Ayahnya.
Sampai di sana, baru saja Zino keluar dari mobilnya, dari kejauhan ia bisa melihat seorang gadis yang kemarin mengaku sebagai teman SMAnya itu tengah berbincang dengan gadis lain yang Zino rasa bukan termasuk karyawannya.
Melangkah maju, Zino mengabaikan mereka meskipun sebenarnya pertemuan itu bertentangan dengan aturan perusahaannya.
"Eh itu Zino udah berangkat!" seru Thefani pada temannya yang langsung menoleh ke arah Zino.
"Zino...! Heh Zin tunggu!"
Menghela kasar, Zino menghentikan langkahnya. Berbalik menatap dua gadis yang merusak moodnya di pagi hari.
"Ini Khansa," ucap Thefani mengenalkan temannya.
"Gue gak peduli. Dan lagi, ini jam kerja kalo lo lupa. Gak seharusnya lo semena-mena kayak gini dengan urusan pribadi. Kita ada jam makan siang untuk waktu bertemu atau keluar," dingin Zino.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Sepatu Tanpa Arah [END]
Romansa"Lo gak sadar? Kita sama-sama hancur. Gak ada keharmonisan dikeluarga kita. Tapi lo bermimpi buat membangun rumah tangga sama gue? Lo pikir bisa? Lo yakin gak akan buat tuh anak menderita dengan kelakuan kita di masa depan? Lo yakin bisa jadi orang...