Tetangga Sebelah

801 60 11
                                    

Oh, ternyata ada orang seperti dia yang tinggal di kamar sebelah kostnya.



...oOo...




.



— Celengan Rindu.

.

“Gue putus.”

Bomin gak bereaksi kaget begitu Park Jihoon yang hampir seharian keliatan lesu, loyo juga lemah dan keliatan letih itu akhirnya menghampiri meja kerjanya di jam 16.45, tepat lima belas menit terakhir sebelum jam pulang kerja.

Kalau aja Bomin gak punya hati dia bakal ngusir Jihoon pakai alasan klasik kaya, “jangan ganggu gue sibuk.” Tapi sumpah mulut Bomin hampir aja nyebut kalimat itu kalau aja otaknya gak keburu mengingat segudang kebaikan yang pernah Jihoon lakukan buat dia.

Makanya alih-alih mengusir rekannya itu Bomin terpaksa beranjak, ninggalin Jihoon yang berdiri loyo di depan meja kerjanya. Enggak kok, Bomin masih punya hati dia gak mungkin sengaja menghindar. Bomin pergi untuk ambil satu kaleng kopi di kulkas ruangan—sebenernya itu punya pak manajer tapi gak papa besok Bomin yang ganti—plus narik kursi kosong punya rekan kerjanya yang kebetulan udah sebulan cuti melahirkan.

“Duduk,” titah Bomin seraya dorong kursi kosong tadi ke depan Jihoon. “Jangan berdiri kaya gitu, gue ngeri lo tiba-tiba pingsan.”

“Gue putus.” adalah dua kata yang Jihoon ulangi sewaktu bokongnya berhasil duduk nyaman di atas kursi empuk kepunyaan Mbak Joyi yang cuti melahirkan. Gak lama Jihoon menghela napas, keras dan panjang banget sampai gerak tangan Bomin yang lagi rapih-rapih auto berhenti sebentar karena kaget.

Bomin jadi sempet mikir, ‘si Jihoon kalo putus cinta ternyata kaya orang abis ketimpa beban paling berat.’

“Iya tahu, gue gak kaget.” Bomin menyahut sambil menarik sleting tas ranselnya, dia sudah selesai rapih-rapih tinggal pulang tapi begitu melihat ke depan, wajah kusut plus tatap sendu dari dua bola mata Jihoon bikin hatinya sedikit bergetar, bukan apa-apa, kayanya dia gak bisa langsung cabut karena harus dengerin keluh kesah si supervisor produksi. “Kapan hari kan lo cerita sama gue, bingung ngajak si Junkyu putus pake cara yang gimana—”

“Gue putus.” potong Jihoon.

“Iya gue denger—”

“Gue sama Junkyu putus.” potong Jihoon lagi.

Bomin narik senyum saat sudut bibirnya berkedut kesal, kepalan tangannya disembunyikan di bawah meja. “Iya gue tahu. Lo sama Junkyu putus, gue tahu. Gue denger.” kata Bomin mencoba kalem, demi Tuhan sebenernya Bomin tuh gak berani macem-macem sama Jihoon. Biarpun mereka sepantaran tapi posisi Jihoon satu tingkat lebih tinggi dari Bomin yang cuma officer, Bomin gak mau bernasib sama seperti Jaehyuk yang dikirim ke Batam karena gak sengaja angkat topik cheating sewaktu mereka ngobrol-ngobrol santai.

“Terus kenapa lo sedih? Kan lo yang minta putus—”

“Gue diputusin Junkyu.” omongan Jihoon bikin Bomin membeo ‘hah?’

Jihoon yang semula melihat langit-langit ruangan sedikit demi sedikit menurunkan pandangan, balas tatapan kaget Bomin pakai wajah paling sedih plus bibir bawah yang sengaja digigit keras. “Gue diputusin, Min.” gigitan gigi rapi bagian depan itu makin keras ketika sesuatu yang mengganjal di tenggorokkan makin sulit Jihoon tangani.

Sebenarnya Jihoon udah gak kuat dan gak sanggup. Kalau gak ingat citra diri atau prinsip hidupnya tentang ‘laki-laki pantang nangis, apalagi cuma karena putus cinta!’ kayanya Jihoon bakal nangis meraung-raung detik ini juga. Jihoon gak mau jilat ludah sendiri.

Recyle : JikyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang