🦋06: Syazani dan Aisha

1.8K 174 22
                                    

💭ִ ♡‧₊˚🧸✩ ₊˚🧁⊹

Pukul empat sore, Aisha baru sampai ke rumah. Begitu membuka pintu, dia sudah dihadapkan wajah seseorang yang menatapnya sangat tajam.

“Kamu tidak masuk kuliah lagi hari ini?” tanya Fiandra—ayah Aisha dengan tatapan matanya yang tajam dan menusuk.

“Enggak,” balas Aisha santai. Tatapannya juga tidak kalah tajam dari sang ayah.

“Mau jadi apa kamu ini, Aisha? Sudah seminggu ini kamu tidak masuk kuliah sebanyak tiga kali? Ke mana saja kamu, hah?!”

Aisha memutar bola matanya, sudah biasa dia melihat ayahnya selalu marah-marah. “Ke mana lagi memang? Main lah, me time.”

Mendengar jawaban yang teramat santai keluar dari bibir Aisha, sontak saja emosi Fiandra menguap. Tangannya terangkat melayangkan sebuah tamparan keras di pipi Aisha, membuat kepala Aisha tertoleh ke belakang. Matanya seketika berkaca-kaca dan tangannya mengepal kuat.

“Ayah menghabiskan uang banyak untuk melanjutkan pendidikan kamu, dan ini yang kamu lakukan? Kenapa kamu selalu saja membuat ayah marah, Aisha? Sekali saja tidak berbuat ulah apa tidak bisa? Kamu ini selalu saja menyusahkan ayah!”

Aisha terdiam. Lagi-lagi dia dimarahi habis-habisan oleh Fiandra. Inilah yang membuat Aisha tidak betah di rumah dan selalu mencari hiburan di luar sana.

Aisha tidak pernah merasakan hangatnya sebuah rumah, sejak kecil hidupnya dipenuhi tekanan. Dia harus mengikuti apa yang Fiandra inginkan tanpa bertanya apa yang sebenarnya dirinya mau.

Mentari—ibundanya telah meninggal beberapa menit setelah dirinya lahir. Hal itu yang membuat Fiandra sangat membenci Aisha, tidak pernah peduli pada Aisha dan selalu memarahi Aisha sekecil apa pun kesalahan yang Aisha perbuat.

Saat kecil, Aisha selalu beranggapan ayahnya hanya sedang lelah karena pekerjaan yang menumpuk makanya tidak memperhatikan dirinya. Namun, seiring berjalannya waktu, Aisha mengerti bahwa kehadirannya di dunia ini tidak pernah diharapkan oleh ayahnya.

Hanya Asya yang selalu menjadi prioritas Fiandra. Asya yang selalu disayangi Fiandra dengan penuh cinta, membuat Aisha perlahan-lahan membenci kakaknya itu. Dia iri pada Asya yang selalu mendapatkan kasih sayang sosok ayah. Sementara dirinya tidak pernah merasakan itu.

“Aisha memang selalu salah di mata ayah. Enggak pernah sekalipun ayah menasihati Aisha dengan baik-baik, pasti selalu dengan emosi. Aisha bikin Ayah susah? Iya memang, Aisha pun sadar kalau Aisha bikin ayah susah, bahkan sejak Aisha lahir.” Aisha tertawa getir, dia berusaha menahan air matanya agar tidak menetes.

“Sekali aja, Yah, tanya keinginan Aisha apa, maunya Aisha itu kayak gimana. Bukan Ayah yang selalu mengatur Aisha untuk menuruti segala kemauan Ayah. Aisha seneng kok bisa melanjutkan pendidikan, Aisha berterima kasih banget sama Ayah yang sudah mengeluarkan banyak uang untuk Aisha. Tapi, Ayah ... Aisha enggak mau masuk jurusan yang bukan minat Aisha. Aisha enggak mau jadi dokter seperti yang ayah mau, Aisha pengin jadi desainer karena Aisha suka gambar. Harusnya ayah paham kenapa Aisha jarang masuk kuliah, Aisha tertekan ada di jurusan itu yang enggak Aisha suka sama sekali.” Aisha menjeda sejenak kalimatnya, tangannya mengusap pipinya yang masih terasa nyeri akibat tamparan Fiandra tadi. “Ayah tahu kalau Aisha punya trauma sama darah tapi Ayah malah paksa Aisha masuk kedokteran, Ayah jahat tahu enggak? Ayah enggak pernah memikirkan Aisha sama sekali!” sambungnya.

Fiandra terdiam, dia sangat tahu dan paham betul mengenai trauma yang Aisha alami tetapi Fiandra selalu menutup mata. Dia sama sekali tidak pernah merasa bersalah atas apa yang dia lakukan pada Aisha, dia terus memaksa Aisha untuk mengikuti segala keinginannya.

Pilihan HatikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang