💭ִ ♡‧₊˚🧸✩ ₊˚🧁⊹
Setetes air mata jatuh membasahi pipi Aisha bersamaan tangan seseorang yang menyodorkan sebuah plastik putih di hadapannya. “Abang?”
“Ambil,” titah Ankara membuat Aisha cepat-cepat menyeka air mata di pipinya dan menerima plastik tersebut dengan wajah kebingungan.
Begitu membuka isi plastik tersebut, Aisha terkejut. Dia mendongak dengan mata berkaca-kaca. “Abang kok tau Ais lagi pengin makan es krim?” Perasaan bahagia tidak bisa dicegah hadir dalam lubuk hati Aisha, memang hanya berisi tiga bungkus es krim yang Ankara berikan, tetapi dirinya sangat bahagia.
“Tadi Syila yang bilang,” jawab Ankara.
Dahi Aisha berkerut samar, dia tidak ada mengatakan pada Syila bahwa dirinya menginginkan makan es krim. Hanya bertanya saja pada Arsa apakah masih memiliki es krim lagi atau tidak. Mungkin saja Syila yang terlalu peka akan keinginannya, pikir Aisha.
Nyatanya Ankara berbohong, Syila sama sekali tidak ada mengatakan apa pun padanya. Ankara murni membelikan es krim tersebut untuk Aisha lantaran dia tidak sengaja mendengar percakapan Aisha bersama Arsa dan Syila. Melihat wajah sedih Aisha membuat hati Ankara sakit, hingga akhirnya dia pergi ke supermarket membeli es krim untuk Aisha.
“Makasih, Abang,” ujar Aisha membuyarkan lamunan Ankara.
Ankara mengangguk, mengusap kepala Aisha yang mulai membuka bungkus es krim tersebut dan memakannya dengan lahap. Senyum tipis terbit di bibir Ankara, tatkala Aisha menatapnya Ankara langsung mengubah ekspresi wajahnya.
“Abang mau?” tanya Aisha menyodorkan sebungkus es krim ke hadapan Ankara.
“Tidak, kamu makan saja. Kalau tidak habis, simpan di kulkas,” ujar Ankara kemudian berniat melangkah ke kamar mandi. Namun, tangan Aisha menahannya dengan cepat.
“Abang masih marah sama Ais?”
“Abang nggak marah.”
“Tapi dari tadi Abang enggak ngomong sama Ais, Abang di mana aja Ais juga enggak tahu,” lirih Aisha.
“Abang di ruang kerja Abi, membahas pekerjaan.”
Aisha diam dengan matanya yang memerah menahan tangis, dia sudah tidak berselera memakan es krimnya lantaran tatapan Ankara sangat tidak enak dipandang. Aisha tahu Ankara marah, tetapi pria itu tidak mau jujur.
Ankara sendiri sudah panik melihat Aisha yang ingin menangis, dia menghela napas pelan lantas berjongkok di depan Aisha dan menggenggam sebelah tangannya. “Abang minta maaf, kamu jangan nangis,” ujar Ankara menyeka air mata yang menetes di pipi Aisha.
“Ais sedih, Abang kayak marah banget karena enggak mau punya anak. Abang beneran enggak bahagia mau punya anak sekarang, ya?”
“Kata siapa? Abang bahagia, sangat bahagia.”
“Kalau gitu kenapa Abang berubah?” sela Aisha. Air mata sudah bercucuran membasahi pipinya, dia tidak menghiraukan es krimnya yang cair dalam genggaman tangannya. “Seharian ini kita jarang ngobrol enggak kayak kemarin-kemarin, Abang semarah itu? Iya Ais tahu Abang khawatir sama kondisi Ais, tapi Ais beneran enggak apa-apa. Anak kita udah ada di perut Ais sekarang, nggak mungkin harus dibalikin lagi, kan?”
Sebelah alis Ankara terangkat naik, bingung dengan ucapan Aisha. “Dibalikin gimana maksudnya?”
“Ya enggak tau,” sahut Aisha kesal.
Helaan napas panjang lagi-lagi terdengar dari Ankara, pria itu menatap Aisha yang wajahnya sudah bersimbah air mata. Kalau Althair tahu, pasti dia sudah dimarahi karena sudah membuat Aisha menangis untuk ke sekian kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilihan Hatiku
DragosteStory 3 Pertemuan singkat di antara keduanya menumbuhkan benih-benih cinta dalam diri Ankara. Siapa sangka jika ternyata perempuan yang ditemuinya itu adalah calon istri saudara kembarnya yang telah dipilihkan orang tuanya lewat perjodohan. Beberapa...