🦋37: Kabar Baik atau Buruk?

1.5K 215 52
                                    

💭ִ ♡‧₊˚🧸✩ ₊˚🧁⊹


“Abang bukan mau mengajak kamu periksa kandungan,” ujar Ankara tanpa menoleh membuat Aisha mengerutkan kening bingung.

“Terus kita mau ke mana, Abang?”

“Aborsi.”

Seketika langkah Aisha terhenti, senyuman di bibirnya menghilang mendengar jawaban Ankara yang sangat menyayat hatinya. Air mata Aisha mengalir seraya menatap Ankara yang kini membalikkan badan menghadapnya. Aisha menarik tangannya dari genggaman Ankara dengan kasar, menatap Ankara dengan perasaan kecewa yang begitu besar.

Kecewa mengapa Ankara dengan gampangnya mengatakan kalimat seperti itu.

“A-abang sadar nggak sama apa yang udah Abang bilang?” Suara Aisha bergetar menahan tangisan, tidak menyangka Ankara mengeluarkan kalimat yang amat menyakitkan.

“Ya, Abang sadar,” jawab Ankara dengan suaranya yang terdengar dingin. Tidak ada keraguan dalam pancaran matanya membuat Aisha tidak bisa berkata-kata.

“Ais kecewa sama Abang! Kenapa Abang ngomong kayak gitu?! Abang tega mau bunuh anak Abang sendiri? Ini darah daging Abang!”

“Ais,” panggil Ankara pelan. Dia mencoba meraih tangan Aisha, tetapi Aisha dengan spontan menghindar. “Abang nggak mau kamu kenapa-kenapa, sayang. Abang melakukan ini untuk kebaikan kamu.”

“Kebaikan apanya?!” sentak Aisha emosi. “Hanya karena Abang tahu Ais sakit, Abang dengan teganya menyuruh Ais untuk aborsi? Ais nggak habis pikir sama Abang,” sambung Aisha geleng-geleng kepala seraya tersenyum getir.

“Abang nggak ingin kamu kenapa-kenapa jika mempertahankan dia, nyawa kamu saat ini lebih penting untuk Abang. Abang mohon kamu mengerti, ya?”

Mengerti katanya? Aisha terkekeh miris mendengar ucapan Ankara, dia mengusap pipinya yang basah akan air mata. Aisha tahu bahwa Islam mengharamkan aborsi kecuali untuk kondisi tertentu, pun dengan syarat yang sangat ketat. Misalnya jika janin yang dikandung tidak digugurkan, maka akan berdampak bahaya bagi keselamatan ibu dan bayinya.

Namun, Aisha tidak peduli itu. Dia hanya ingin melihat anaknya lahir ke dunia dengan selamat, tidak peduli jika pun dia harus tiada setelah melahirkan anaknya. Bukankah kematian seseorang sudah digariskan oleh Allah? Jadi, untuk apa Aisha harus takut, kan?

Ankara menatap Aisha dengan cemas, dia sungguh merasa bersalah telah membuat istrinya menangis. Dia pun sadar betul keputusannya ini sangat menyakiti hati Aisha, tetapi inilah cara satu-satunya agar Aisha baik-baik saja. Ankara ingin Aisha sembuh terlebih dahulu dari penyakitnya, barulah setelah itu mereka memikirkan tentang anak lagi.

“Ais, dengarkan Abang. Abang mau kamu sembuh dulu—”

“Enggak!” potong Aisha cepat, menggeleng-gelengkan kepalanya menatap Ankara dengan wajah bersimbah air mata. “Ais enggak mau, Abang. Ais enggak mau aborsi, tolong jangan paksa Ais....”

“Tapi ini untuk keselamatan kamu! Nyawa kamu bisa saja terancam sekarang jika terus mempertahankan dia, Aisha.”

“Ais enggak peduli! Pokoknya sampai kapan pun Ais enggak akan pernah mau untuk aborsi, Ais akan tetap mempertahankan anak kita!” Aisha melangkah mendekat, meraih jemari Ankara yang gemetar dan menggenggamnya. “Allah yang lebih tahu segalanya, Allah yang menentukan hidup dan mati seseorang. Bukankah Abang lebih paham agama ketimbang Ais? Lantas mengapa Abang seolah enggak percaya dengan kuasa Allah? Harusnya Abang husnuzan sama Allah kalau Ais enggak akan kenapa-napa, kan?”

Pilihan HatikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang