🦋35: Yang Tidak diharapkan

1.5K 236 33
                                    

“Kamu anugerah terindah yang pernah Abang dapatkan, maka sudah sepatutnya Abang akan menjaga anugerah yang Allah beri dengan sebaik-baiknya. Jika kamu terluka, maka Abang yang akan menjadi obatnya.”
—Naizar Ankara Biantara

💭ִ ♡‧₊˚🧸✩ ₊˚🧁⊹

“Kamu bertanya seolah Abang menyembunyikan rahasia dari kamu, padahal sebenarnya kamu sendirilah yang menyembunyikan rahasia besar dari Abang. Bukan begitu, Aisha?”

Tubuh Aisha menegang, matanya membulat terkejut mendengar pernyataan Ankara. “A-apa maksud Abang?”

“Kamu sakit jantung dan membutuhkan donor secepatnya, tapi kamu menyembunyikannya dengan apik dari Abang. Kenapa, Aisha? Kenapa kamu harus menyembunyikan rahasia sebesar ini dari Abang? Abang seperti orang bodoh yang nggak tahu kalau istrinya menahan sakit sendirian,” lanjut Ankara membuat Aisha semakin terkejut.

“A-abang tahu dari mana?”

“Kamu nggak perlu tanya Abang tahu dari mana. Jawab pertanyaan Abang, apa yang Abang bilang ini benar, kan?”

Aisha diam membisu. Dia menundukkan kepalanya tidak berani menatap Ankara yang kini melayangkan tatapan tajam padanya. Aisha tidak bisa memberi alasan lain jika Ankara sudah mengetahuinya. Sungguh, Aisha ketakutan setengah mati. Apakah setelah ini Ankara akan meninggalkan dirinya? Membayangkan hal tersebut membuat tangis Aisha semakin deras.

“Maaf,” lirih Aisha. “Ais nggak ada maksud bohong sama Abang, Ais minta maaf, Abang. Ais cuma nggak mau Abang tahu penyakit Ais,” sambung Aisha dengan tangisnya yang sesenggukan.

“Jujur saja Abang kecewa dengan kamu, Aisha.” Ankara menatap Aisha dengan tatapan sulit diartikan. Sedangkan Aisha sudah ketar-ketir takut Ankara memarahinya. “Kenapa kamu menyembunyikan semuanya dari Abang? Kamu anggap Abang ini apa? Apa Abang enggak berhak tahu kondisi kamu?”

“Maaf.”

Hanya itu yang bisa Aisha katakan.

“Abang ini suami kamu, sudah seharusnya Abang tahu apa yang terjadi dengan kamu. Abang terlihat sangat bodoh hingga tidak menyadari kalau istri yang Abang anggap baik-baik saja, ternyata memiliki penyakit yang dia sembunyikan. Abang sangat bodoh, kan, Ais? Seharusnya Abang lebih peka terhadap kondisi kamu, bukan malah abai.” Ankara terkekeh miris, matanya sudah berkaca-kaca.

“Abang enggak salah, semua ini salah Ais. Maaf, Ais udah menyembunyikan semuanya dari Abang. Ais nggak mau bikin Abang sedih—”

“Justru dengan kamu tidak memberitahu Abang, Abang sangat sedih, Aisha,” potong Ankara cepat. “Abang merasa tidak berguna sebagai suami kamu, Abang sudah gagal menjadi sosok suami yang melindungi istrinya.”

Aisha menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat, menyentuh tangan Ankara dan menggenggamnya. Aisha tidak suka Ankara berbicara seperti itu, Ankara adalah suami yang baik untuknya, bahkan sangat baik.

“Apa sebegitu tidak pentingnya Abang di hidup kamu sampai kamu enggan membagi masalah yang kamu alami dengan Abang? Apa kamu tidak mempercayai Abang, Aisha?”

Aisha lagi-lagi menggeleng. “Abang jangan ngomong gitu, Ais minta maaf. Abang sangat penting di hidup Ais, Ais juga percaya sama Abang.”

“Lantas kenapa kamu tidak memberitahu Abang?”

“Maafin Ais,” lirih Aisha menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Ais tahu Ais salah karena enggak bilang dari awal sama Abang, Ais minta maaf. Ais enggak mau bikin Abang terbebani, selama ini Ais sudah banyak membebani dan merepotkan Abang....”

“Sudah berapa kali Abang bilang kalau kamu tidak pernah merepotkan Abang? Sebagai suami-istri bukankah sudah seharusnya saling terbuka? Kamu anugerah terindah yang pernah Abang dapatkan, maka sudah sepatutnya Abang akan menjaga anugerah yang Allah beri dengan sebaik-baiknya. Jika kamu terluka, maka Abang yang akan menjadi obatnya.”

Pilihan HatikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang