🦋14: Hari Pernikahan

2.1K 219 31
                                    

💭ִ ♡‧₊˚🧸✩ ₊˚🧁⊹


Hari yang tidak Aisha tunggu-tunggu akhirnya tiba, hari di mana statusnya akan berubah menjadi seorang istri. Tidak terasa seminggu berjalan sangat cepat, akad nikah akan dimulai beberapa jam lagi.

Aisha tidak bisa diam saat Bi Mimi merias wajahnya, perempuan itu terus menggerutu dan masih saja meronta-ronta ingin kabur. Membuat Bi Mimi sangat pusing melihatnya.

“Aisha, diam dulu, Nak.” Bi Mimi memoles wajah Aisha dengan sedikit bedak, dia sudah lelah menghadapi Aisha yang sangat keras kepala.

“Nggak mau Bibi, Ais nggak mau dirias.” Aisha menggeleng-gelengkan kepalanya, sengaja agar Bi Mimi pusing merias wajahnya, dengan itu dia bisa mengulur waktu.

“Hari ini kamu akan menikah, masa wajahmu nggak mau dirias. Sedikit saja ini, nggak tebal banget kok. Diam dulu, ya?”

“Kan, udah Ais bilang, Ais nggak mau nikah. Bibi tinggal bilang sama mereka kalau pernikahannya batal, dengan itu Bibi nggak bakal capek ngerias Ais.”

“Hus, jangan ngawur kamu, nggak ada batal nikah. Orang-orang kalau nikah, ya berdoa semoga pernikahannya lancar, ini malah kamu minta dibatalkan.” Bi Mimi tidak habis pikir.

“Itu kalau nikah sama orang yang dicinta, beda sama Ais orang enggak cinta sama dia. Kenal pun enggak,” balas Aisha.

“Justru bagus cinta tumbuh setelah menikah, menghindarkan dari zina.” Bi Mimi melototkan matanya pada Aisha lantaran yakin Aisha akan terus membalas ucapannya.

Melihat tatapan Bi Mimi, Aisha kicep. Gadis itu pun diam dan membiarkan Bi Mimi merias wajahnya. Memang apa yang bisa Aisha lakukan selain pasrah? Aisha ini lebih takut dengan Bi Mimi ketimbang Fiandra, ayahnya sendiri.

Selang beberapa menit, Bi Mimi selesai merias wajah Aisha. Aisha yang memang sudah cantik pun semakin bertambah cantik dengan polesan tipis di wajahnya. Bi Mimi menyuruh Aisha agar menatap wajahnya sendiri di cermin.

“BIBI INI SIAPA? KENAPA WAJAH AIS BERUBAH!” Aisha memekik terkejut, seakan tidak mengenali wajahnya sendiri. Sungguh, apa yang dia lihat dari pantulan cermin membuatnya takjub. Pintar juga Bi Mimi merias, begitu pikirnya.

“Itu kamu, Ais. Maa Syaa Allah sekali, cantik bukan?”

Aisha menganggukkan kepala dengan cepat, dia mengagumi dirinya sendiri yang sangat cantik ini. Aisha sebenarnya juga bisa mendadani dirinya sendiri, namun tidak sebagus hasil Bi Mimi.

Senyum di wajah Aisha perlahan pudar begitu mengingat jika dirinya tadi menolak untuk didandani. Dia pun berdecih. “Ih nggak! Ais nggak jadi kagum! Pokoknya Ais nggak mau nikah Bibi!”

Bi Mimi beristigfar, sudah lumayan lega saat Aisha mengagumi riasan wajahnya tetapi gadis itu malah menolak kembali. “Ais, nggak boleh begitu. Coba sekarang Bibi tanya kenapa Ais nggak mau nikah?”

Aisha menghadapkan tubuhnya ke samping menatap Bi Mimi, dia menghela napa panjang. “Ya, karena nggak mau. Ais takut, Ais ini nggak bisa apa-apa. Cuci piring aja nggak bisa, mau masak juga enggak bisa. Bibi bahkan tahu berapa kali Ais ke dapur selama hidup Ais, bisa dihitung dengan jari, Bibi. Setiap kali ke dapur, mata Ais pasti bakal langsung lihat pisau dan itu bikin Ais takut. Ais terus-terusan ingat nenek.” Mata Aisha berkaca-kaca, dia tidak peduli orang-orang akan menganggapnya lebay atau bagaimana. Aisha mengatakan kebenaran, dia benar-benar takut saat melihat pisau dan benda tajam lainnya, dia jadi teringat peristiwa kelam dulu.

“Ais.” Bi Mimi ikut sedih, dia merasakan bagaimana kehidupan Aisha selama ini yang selalu dibayangi ketakutan. Wanita paruh baya itu memeluk Aisha dan mengusap-usap punggungnya menenangkan. “Maaf, Bibi enggak bermaksud untuk membuat Ais ingat nenek lagi. Ais jangan takut, ya, Nak. Bibi yakin perlahan-lahan trauma itu akan hilang, suami Ais nanti pasti bisa bantu Ais dari bayang-bayang buruk itu. Bibi lihat Nak Ankara itu orang yang baik, tatapannya tulus sekali. Dia pasti bisa membahagiakan Ais nanti, memperlakukan Ais dengan baik dan memberikan cinta yang belum pernah Ais dapatkan sebelumnya.”

Pilihan HatikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang