🦋47: Kelahiran

1K 141 11
                                    

💭ִ ♡‧₊˚🧸✩ ₊˚🧁⊹

Akibat pendarahan yang terjadi, Aisha segera dilarikan ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Aisha terus memanggil nama Ankara sembari menahan sakit di perutnya. Perasaannya mendadak tidak enak, cemas dan takut bercampur menjadi satu.

Aisha sangat mengkhawatirkan Ankara sebab pria itu sulit sekali dihubungi, dia juga merasa takut jika anak dalam kandungannya terluka. Digenggamnya tangan Aluna dengan erat, ibu mertuanya datang ke rumah tepat saat dia berteriak meminta tolong. Jadilah dia langsung membawa Aluna ke rumah sakit terdekat untuk mendapat penanganan.

Aluna sudah berusaha menghubungi Ankara, tetapi tidak ada jawaban hingga dia menyerah. Biarlah dia mencoba lagi nanti, saat ini dia harus menenangkan dan memberi semangat pada Aisha.

“Ais, jangan tutup mata kamu, ya? Kamu harus kuat.” Aluna berbisik pelan, tangannya mengusap peluh di dahi Aisha.

“A-abang di mana?” Tidak ada perkataan lain yang Aisha ucapkan selain menanyakan keberadaan suaminya. Aisha hanya butuh Ankara di sampingnya, mendampinginya dalam masa sulit seperti ini.

Aluna tidak ingin membuat Aisha tambah kepikiran karena akan berakibat buruk bagi kondisi Aisha, sehingga dia dengan terpaksa berbohong agar Aisha tenang. “Abang Anka sebentar lagi sampai, kamu tenang, ya?”

Sejujurnya Aluna sangat khawatir dengan putranya lantaran tidak bisa dihubungi lewat telepon, perasaannya sebagai seorang ibu tidak bisa dibohongi, dia merasa telah terjadi sesuai pada Ankara. Namun, Aluna berusaha menepis pikiran buruk itu dan berdoa semoga apa yang dia pikirkan tidak benar-benar terjadi.

Mobil yang membawa Aisha akhirnya sampai di rumah sakit, Aisha dibaringkan di atas brankar kemudian perawat serta dokter membawanya ke ruang tindakan. Aluna menunggu di luar dengan harap-harap cemas, dia berdoa agar Aisha dan bayinya diberikan keselamatan.

Tidak berselang lama, Althair datang bersama Arsa dan Syila, mereka tampak khawatir. Suaminya itu langsung memberikan pelukan untuk menenangkannya. “Aku udah telepon Abang, tapi nggak diangkat. Aku nggak tahu kenapa perasaan aku tiba-tiba nggak enak,” ujar Aluna memberitahu keresahannya pada sang suami.

“Tenangkan diri kamu, In Syaa Allah Abang nggak kenapa-kenapa. Biar Mas coba telepon Abang, ya?” Althair mengusap lembut pipi Aluna yang tertutup cadar lantas menyuruh Aluna untuk duduk.

Althair mengeluarkan ponselnya dan mulai menghubungi anak sulungnya, berharap kali ini panggilannya terjawab. Namun, sudah beberapa kali dia mencoba, hasilnya tetap nihil. Pesan yang dikirimkannya pun tidak kunjung dibaca.

Menghela napas pelan, Althair mendekati Aluna yang sedang ditenangkan oleh Syila. Dia menyentuh bahu Aluna dan menatapnya sejenak lalu menggeleng. “Abang nggak bisa dihubungi,” ujarnya semakin membuat Aluna khawatir.

“Aku yakin pasti udah terjadi sesuatu sama Abang, Abang nggak pernah kayak gini. Sesibuk apa pun Abang, dia selalu kasih kabar, entah itu telepon atau hanya sekadar pesan singkat. Tapi ini sama sekali nggak ada kabar, aku beneran khawatir.” Aluna tidak menahan rasa khawatirnya, dia panik bukan kepalang.

“Buna, tenang. Kita berdoa semoga Abang baik-baik aja, oke?” Syila menenangkan Buna-nya yang kini menangis.

Althair memeluk istrinya dan memberikan kalimat penenang. Setelah suasana hati Aluna lumayan membaik, Althair mengajak Arsa pergi mencari Ankara. “Mas pergi dulu, kabari Mas kalau ada apa-apa, ya?” Althair beralih menatap anak bungsunya. “Jaga Buna,” ujarnya seraya mengusap lembut kepala Syila.

Althair pun pergi, bersama itu dokter keluar dari ruangan Aisha. Sontak Aluna berdiri, menatap dokter tersebut meminta penjelasan. Dari tatapan matanya, Aluna sudah bisa menebak apa yang terjadi.

Pilihan HatikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang