200 vote + 100 komen untuk buka chapter selanjutnya!
💭ִ ♡‧₊˚🧸✩ ₊˚🧁⊹
Ankara berdiri di depan pintu kamar memperhatikan Aisha yang tengah mengaji, rasa lelah akibat bekerja seharian seketika langsung hilang. Bibirnya melengkungkan senyum manis mendengar suara Aisha yang sangat merdu, walaupun masih ada sedikit bacaan yang salah.
Ankara menutup pintu dengan hati-hati agar tidak terdengar suara yang menganggu aktivitas Aisha, dia berjalan pelan menuju sofa seraya melepas jas yang melekat di tubuhnya. Ankara meletakkan tas kerjanya di sofa lantas mendudukkan diri di sana dengan masih memperhatikan Aisha.
Sepuluh menit kemudian barulah Aisha selesai mengaji, dia meletakkan Al-Qur'an tersebut di tempat semula lantas berbalik badan. Alangkah terkejutnya Aisha mendapati sang suami yang sudah duduk di sofa dengan pandangan menatapnya juga senyuman manis di bibirnya.
“Loh, Abang udah pulang?” tanya Aisha berjalan mendekat pada Ankara, mencium punggung tangan Ankara dengan sopan yang dibalas Ankara dengan kecupan di keningnya.
“Ais nggak dengar suara Abang tadi, udah lama?”
“Belum,” jawab Ankara.
“Abang pasti capek, ya, seharian ini kerja terus. Habis ini makan terus istirahat, ya? Tadi Ais udah masak buat Abang loh.”
“Kamu masak?” Wajah Ankara langsung berubah tidak suka. “Abang udah bilang sama kamu istirahat aja, jangan mengerjakan pekerjaan berat, Ais. Abang enggak mau kamu kenapa-kenapa,” sambung Ankara khawatir. Semenjak mengetahui Aisha sakit, dia jadi semakin overprotektif.
Aisha menghembuskan napas pelan, sudah dia duga Ankara pasti akan mengomelinya. Kedua tangannya menangkup pipi Ankara seraya tersenyum hangat. “Ais enggak masak sendiri, dibantu sama bibi kok. Abang jangan terlalu khawatir, oke? Ais baik-baik aja kok dan akan selalu baik,” ujar Aisha menenangkan Ankara agar tidak terlalu berpikiran buruk tentang kondisinya.
“Kali ini Abang maafkan, kalau kamu bandel lagi....” Aisha menaikkan sebelah alisnya menunggu Ankara yang sengaja menggantungkan ucapannya.
“Abang mau bilang apa? Kalau Ais bandel mau diapain?”
“Cium,” jawab Ankara dengan entengnya.
“Ih, Abang!” pekik Aisha.
Ankara tergelak melihat wajah kesal Aisha yang sangat menggemaskan, mengusap pucuk kepala Aisha yang masih mengenakan mukena dengan lembut. “Abang mandi dulu, ya. Gerah banget,” ujar Ankara.
“Udah malam, loh, yakin mau mandi?”
“Iya, Sayang.”
“Ais siapin air hangat, ya, buat Abang?”
“Tidak usah, Sayang. Abang mandi pakai air dingin aja biar segar,” sahut Ankara sembari mengecup kening Aisha kemudian berjalan menuju kamar mandi.
Aisha mendengus sebal, berbalik badan dan berjalan ke lemari mengambil pakaian untuk Ankara. “Abang, bajunya Ais taruh di kasur. Ais mau ke dapur, nanti Abang nyusul ke sana kalau udah selesai mandinya sekalian makan malam, ya?”
“Iya!”
Aisha menggeleng pelan, meletakkan pakaian Ankara di kasur lalu berjalan ke dapur. Sesampainya di sana Aisha langsung menata makanan yang sudah dia masak tadi sambil menunggu Ankara selesai dengan kegiatannya.
Aisha menghela napas kasar, menatap perutnya yang rata lalu mengusapnya perlahan. Soal kehamilannya, Aisha memutuskan untuk menyembunyikannya lebih dulu dari Ankara ataupun orang-orang sekitar. Aisha takut Ankara tidak menerima kehadiran bayi itu apalagi setelah mengetahui dirinya sakit. Biarlah ini menjadi rahasianya selama beberapa bulan ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilihan Hatiku
Storie d'amoreStory 3 Pertemuan singkat di antara keduanya menumbuhkan benih-benih cinta dalam diri Ankara. Siapa sangka jika ternyata perempuan yang ditemuinya itu adalah calon istri saudara kembarnya yang telah dipilihkan orang tuanya lewat perjodohan. Beberapa...