💭ִ ♡‧₊˚🧸✩ ₊˚🧁⊹
“Ais, sudah belum, Nak? Kamu lama sekali, sudah ditunggu semua orang di bawah.” Bi Mimi mengintip dari balik pintu kamar Aisha, memperhatikan Aisha yang tengah mengambil sesuatu di kamar.
Hari ini Asya dan Aisha akan pindah ke rumah mertua untuk tinggal di sana sebelum nantinya tinggal di rumah masing-masing. Mereka sudah siap, tinggal menunggu Aisha yang kelupaan membawa sesuatu.
“Iya Bibi!” seru Aisha kemudian berjalan keluar kamar sembari menggendong boneka beruang cukup besar.
Bi Mimi melongo, dia menghela napas panjang menatap Aisha. “Kamu mau bawa boneka itu?”
Aisha mengangguk, keduanya berjalan beriringan menuruni tangga menuju ruang tamu. “Bibi tahu sendiri Ais nggak bisa tidur kalau nggak peluk boneka ini.”
Sepertinya Aisha melupakan satu hal, semalam tanpa memeluk boneka itu saja dia bisa tidur lelap. Malahan memeluk suaminya yang dia kira guling.
“Ya sudah nggak apa-apa. Ingat pesan Bibi, ya, Ais. Jangan lupa makan apalagi sampai telat, obatnya juga diminum jangan sampai lewat. Kalau mau pergi ke dokter, jangan lupa minta izin sama suamimu.”
Aisha menghentikan sejenak langkahnya untuk menatap Bi Mimi. “Izin? Ais harus kasih tau dia dong alasan mau ke dokter? Nggak mau! Nanti dia tahu lagi Ais ini kenapa,” ujar Aisha.
“Sudah Bibi katakan kamu harus jujur perlahan-lahan pada suamimu, Bibi yakin kok Nak Ankara bisa membantu kamu. Dia juga akan mendukung kamu, dukungan orang di sekeliling sangat penting untuk kamu, Ais.”
“Dukungan dari Bibi udah cukup buat Ais.”
Bi Mimi hanya bisa menghela napas, Aisha ini susah sekali dinasihati padahal untuk kebaikannya sendiri. Bi Mimi berharap, secepat mungkin Aisha bisa memberitahu apa yang dia alami pada Ankara. Semoga saja Aisha tidak terus-terusan menutup diri dari orang lain.
“Lama sekali,” cibir Fiandra begitu Aisha sampai di ruang tamu.
Aisha menatap sinis Fiandra, dia mengeratkan pelukan pada bonekanya. “Apa kamu akan membawa boneka itu, Aisha? Jangan bertingkah seperti anak kecil, kamu ini sudah menikah,” ujar Fiandra sangat tidak enak didengar. Ankara dan Askara dibuat heran mendengar nada bicara Fiandra pada Aisha yang terdengar kasar.
“Suka-suka Aisha dong! Ini, kan, boneka punya Aisha jadi berhak mau dibawa ke mana,” balas Aisha tidak mau kalah.
Fiandra ingin membalas ucapan Aisha, melarang Aisha agar tidak membawa boneka itu. Namun, suara Ankara memecahkan ketegangan di sana. “Tidak apa-apa Ayah, biarkan Aisha membawanya,” katanya.
Aisha menjulurkan lidahnya meledek Fiandra, seolah mengatakan dirinya menang karena dibela Ankara dan Fiandra tidak bisa berbuat apa-apa selain mengangguk pasrah pada Ankara.
Asya memeluk Fiandra sebagai tanda perpisahan, air mata Asya menetes perlahan. Fiandra membalas pelukan Asya tidak kalah erat, mengusap punggung Asya lembut dan memberikan kecupan di pucuk kepalanya. Aisha berdecih melihatnya.
“Asya pamit, ya, Ayah. Asya janji bakal sering-sering ke sini jenguk Ayah,” ujar Asya mengurai pelukannya.
“Iya, Nak. Jadilah istri yang baik untuk suamimu, turuti perintahnya selagi hal baik. Ayah akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kebahagiaan putri Ayah.”
Aisha membuang muka ke samping dan membuat gaya seolah-olah sedang muntah. Ankara yang melihat tingkah Aisha mengerutkan dahi bingung.
“Nak Askara, Ayah titip Asya padamu. Jaga dia, ya? Bahagiakan putri Ayah, jangan sekali-kali kamu mengeluarkan suara tinggi padanya, kalau kamu sudah tidak sanggup lagi membahagiakannya, kembalikan dia pada Ayah secara baik-baik.” Fiandra menepuk bahu Askara pelan, mengusap rambut Ankara lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilihan Hatiku
RomanceStory 3 Pertemuan singkat di antara keduanya menumbuhkan benih-benih cinta dalam diri Ankara. Siapa sangka jika ternyata perempuan yang ditemuinya itu adalah calon istri saudara kembarnya yang telah dipilihkan orang tuanya lewat perjodohan. Beberapa...