🦋22: Askara dan Asya

3.1K 275 230
                                    

“Aku selalu berdoa dan berusaha supaya hati ini nggak melirik ke siapa pun selain kamu. Aku memang anaknya sedikit nakal, tapi sekalinya jatuh cinta, cintaku nggak akan main-main.”
Naimar Askara Biantara

💭ִ ♡‧₊˚🧸✩ ₊˚🧁⊹


“Maaf, ya, sementara waktu kita tinggal di sini dulu. Kamu nggak apa-apa, kan, tinggal sama keluarga aku?” Askara bertanya pada Asya yang tengah menaruh baju ke dalam lemari.

“Iya nggak apa-apa, Mas, aku malah senang ada teman,” balas Asya tersenyum lembut.

“Takutnya kamu nggak nyaman, biasanya menantu nggak mau tinggal sama mertua. Ya mungkin menghindari sesuatu yang enggak diinginkan,” ujar Askara membuat Asya tertawa kecil.

Perempuan itu menutup lemari lantas beranjak dan duduk di sofa di mana Askara juga duduk di sana. Diraihnya sebelah tangan Askara lalu mengusapnya lembut. “Aku nyaman kok tinggal di sini, di mana aja asal sama Mas Aska. Lagian nggak semua mertua kayak gitu kok, dari yang aku lihat Buna dan Abi orang yang baik. Jadi, nggak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Askara memajukan wajahnya untuk mengecup kening Asya, sangat kagum dengan pemikiran Asya yang dewasa. Saat membawa Asya tinggal bersama keluarganya, sebenarnya ada ketakutan dalam diri Askara. Takut Asya tidak nyaman harus tinggal serumah dengan keluarganya. Namun, ternyata tidak, Asya justru merasa sangat senang.

“Makasih, ya? Untuk semuanya aku ucapkan terima kasih, kamu sudah mau menerima keluarga aku, menerima segala kekurangan aku. Aku memang belum ada persiapan sama sekali karena aku nggak menduga akan menikah secepat ini, makanya aku belum kepikiran untuk membeli rumah sendiri, tapi kamu tenang aja, ya. Aku sedang menyiapkan rumah untuk kita berdua nanti,” ujar Askara benar-benar tulus. Tidak ada kebohongan dalam setiap perkataannya.

Mulut Asya terbuka ingin membalas ucapan Askara, namun suara ketukan pintu yang cukup keras menghentikan obrolan mereka. Askara berdecak, dia menduga pasti itu kelakuan Syila.

Asya mengulas senyum tipis, mengusap pipi Askara sekilas lalu pamit untuk membuka pintu. Benar saja, ada Syila berdiri di sana.

“Kak Asya!” seru Syila menarik tangan Asya seraya menyembulkan kepalanya dari balik pintu dan berteriak pada Askara. “Syila pinjam Kak Asya sebentar, ya!”

“Nggak boleh!”

Syila tidak menggubris teriakan Askara yang melarangnya, dia membawa Asya bersamanya seraya cekikikan. Mereka tiba di taman belakang rumah yang dipenuhi bunga-bunga cantik. Syila pun menyuruh Asya untuk duduk di kursi yang ada di sana.

“Maaf, ya, Kak udah narik-narik tangan Kak Asya. Kalau nggak kayak gini, pasti Syila nggak boleh ngobrol sama Kak Asya. Kemarin-kemarin aja waktu mau dijodohin kak Aska nolak, eh sekarang jadi bucin, kan, enggak mau jauh-jauh,” celetuk Syila membuat Asya menahan senyum.

“Santai aja, Syila. Kita masih bisa ngobrol sepuasnya, apalagi sekarang kita tinggal serumah.”

Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, sejujurnya Asya masih canggung untuk sekadar mengobrol ringan pada Syila yang dulu notabenenya adalah seorang ‘Ning’ di pesantren yang dia tempati. Apalagi mengobrol bersama keluarga suaminya yang lain, Asya masih amat canggung dan malu.

Syila menumpukkan kedua tangannya di meja, menatap Asya di depannya. “Oh ya, gimana bulan madunya kemarin? Seru nggak? Kak Aska sama Kak Asya udah ada malam pertama belum? Gimana cara mulainya?”

Asya melotot mendengar pertanyaan Syila yang beruntun, terlebih Syila menanyakannya dengan wajah polos. Asya menundukkan kepalanya menahan salah tingkah, dia yakin pipinya kini sudah memerah. “Astaghfirullah, kenapa tanya kayak gitu?”

Pilihan HatikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang