💭ִ ♡‧₊˚🧸✩ ₊˚🧁⊹
Aisha menuruni tangga sembari memandangi sekeliling, rumah mertuanya sangat besar dan mewah. Banyak kata-kata islami dan kalimat motivasi terpajang di dinding.
Aisha melangkahkan kaki menuju dapur, sedikit mengintip apa yang sedang mereka lakukan. Ada Aluna dan Asya yang tengah memasak. Rasanya tidak enak jika Aisha tidak membantu, tetapi Aisha takut harus masuk ke dapur. Apa yang bisa dia lakukan memangnya? Memegang wajan saja sepertinya tidak pernah, sudah dibilang Aisha ini tidak bisa apa-apa.
Menghela napas panjang, Aisha menguatkan dirinya agar tidak merasa takut. Tidak mungkin dia hanya berdiam diri tanpa ikut membantu mertuanya memasak.
Asya yang menyadari kehadiran seseorang lantas menoleh, menemukan Aisha yang berdiri di dekat pintu masuk. Asya mengerti bahwa Aisha pasti takut menginjak kaki di dapur, sehingga dia pun melangkah mendekat seraya memanggil namanya. “Aisha?”
Terkejut Aisha dibuatnya, dia menegakkan tubuhnya dan menggaruk pelipisnya. Aluna ikut menoleh, tersenyum melihat Aisha. “Aisha butuh sesuatu?” tanya Aluna dibalas gelengan kepala oleh Aisha.
“Aisha mau bantu masak boleh?” Suara Aisha terdengar gugup, tangannya sudah berkeringat dingin.
“Boleh sayang, sini. Buna malah senang kalau kamu ikutan masak,” jawab Aluna.
Aisha tersenyum canggung, melirik Asya yang menatapnya dengan sorot khawatir. Asya tentu tahu jikalau Aisha memiliki trauma dengan benda-benda dapur. Bukan hanya karena mengingatkan kematian sang nenek, tetapi juga pada peristiwa kebakaran yang terjadi beberapa tahun lalu.
“Ais—”
“Gue nggak apa-apa,” katanya tersenyum tipis.
Pelan tapi pasti, Aisha pun berjalan memasuki dapur dan mendekati Aluna. Berdiri di samping ibu mertuanya dan bertanya apa yang bisa dia bantu.
“Kamu potong wortel dan kentang aja, ya, sayang. Kecil-kecil aja, mau dibuat sup nanti.”
Aisha mengangguk. Dengan tangan gemetar, Aisha mengambil pisau dan mulai memotong wortel dan kentang yang sudah dikupas.
Baru dua menit, sekelebat bayangan tentang neneknya hinggap di kepala Aisha. Bagaimana para preman itu yang menusuk pisau tersebut ke neneknya hingga wanita paruh baya itu menghembuskan napas terakhir. Aisha juga mengingat dirinya yang terjebak dalam kobaran api yang sangat besar di dalam dapur ketika hendak membuat kopi untuk Fiandra.
Aisha menutup kedua telinganya seraya menggeleng-gelengkan kepala, berusaha mengusir bayangan buruk itu. “NENEK!”
Asya dan Aluna terlonjak kaget mendengar teriakan Aisha. Asya dengan cepat berdiri di sebelah Aisha dan mengusap bahu adiknya. “Aisha, kamu tenang, ya, Dek. Ini Kakak.”
“Nenek ....” Aisha terus meracau memanggil-manggil neneknya dengan air mata yang kini perlahan menetes.
“Aisha kenapa?” tanya Aluna panik. Tidak dipungkiri dia khawatir dengan Aisha, apalagi mata Aisha yang menyorotkan ketakutan membuat dia bertanya-tanya apa yang terjadi dengan menantunya.
“Buna, sebenarnya Aisha ada trauma. Dia selalu keingat nenek yang udah meninggal setiap kali ke dapur,” jawab Asya. Aluna menutup mulutnya terkejut.
“Astaghfirullah, kenapa enggak bilang?” Jika Aluna tahu lebih awal, tentu dia tidak akan mengizinkan Aisha membantunya. Tidak apa-apa dia mengerjakan sendiri daripada harus melihat menantunya ketakutan.
“Aisha, kamu tenang, ya? Jangan takut, kamu istirahat aja di kamar.” Aluna berbisik pelan menenangkan Aisha, dia menggenggam tangan Aisha yang sangat dingin. “Bawa adikmu ke kamar, ya, biar Aisha istirahat,” perintahnya pada Asya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilihan Hatiku
RomanceStory 3 Pertemuan singkat di antara keduanya menumbuhkan benih-benih cinta dalam diri Ankara. Siapa sangka jika ternyata perempuan yang ditemuinya itu adalah calon istri saudara kembarnya yang telah dipilihkan orang tuanya lewat perjodohan. Beberapa...