💭ִ ♡‧₊˚🧸✩ ₊˚🧁⊹
Ankara mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, dia sangat khawatir pada Aisha. Sudah berulang kali mencoba menghubunginya lewat panggilan telepon, tetapi tidak kunjung mendapat jawaban.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi Ankara untuk sampai di rumah Fiandra. Dengan cepat Ankara turun dari mobil dan bergegas mengetuk pintu rumah Fiandra dengan tidak sabaran.
“Ya, siapa?”
Suara Fiandra terdengar bersamaan pintu yang terbuka. Dapat dilihat Fiandra sedikit terkejut mendapati keberadaan Ankara. “Kamu?”
“Assalamualaikum, Ayah. Saya tidak ingin berbasa-basi, saya mau langsung tanya saja, di mana Aisha?” Katakan saja Ankara tidak sopan, yang ada di pikirannya sekarang ialah Aisha.
Fiandra mengangkat sebelah alisnya mendengar pertanyaan Ankara, senyum miring dia berikan sebagai respons. “Kamu datang jauh-jauh ke sini hanya untuk bertanya di mana keberadaan anak itu? Hey, seharusnya kamu tanyakan pada diri kamu sendiri, kenapa malah bertanya sama Ayah? Bukankah dia istrimu? Seharusnya kamu tahu, di mana istrimu sekarang.”
Sikap Fiandra sudah mulai terlihat bagaimana aslinya, tidak seperti di awal yang sangat ramah dan begitu baik padanya. Sebisa mungkin Ankara menahan diri agar tidak terpancing emosi.
“Ayah, saya bertanya-tanya baik. Di mana Aisha? Dia izin ke saya untuk datang ke sini menemui Ayah, tapi sampai sekarang dia belum pulang. Apa telah terjadi sesuatu antara Ayah dan juga Aisha?”
“Ya, anak itu memang datang ke sini. Dia sudah pulang 30 pulang menit yang lalu. Entah di mana dia sekarang, saya tidak tahu karena itu bukan urusan saya,” jawab Fiandra terdengar acuh.
“Apa Ayah sudah menyakiti Aisha untuk ke sekian kali?” Bukan berniat suuzan, tetapi Fiandra memang patut dicurigai. “Saya menghormati Ayah karena Ayah adalah ayah mertua saya, tapi saya tidak akan tinggal diam, jika lagi-lagi ayah menyakiti Aisha.”
Fiandra berdecih. “Apa istimewanya anak itu sampai kamu membelanya seperti ini?”
“Aisha sangat istimewa, lebih istimewa daripada yang ayah bayangkan. Ayah yang terlalu menutup mata, hingga tidak bisa melihat betapa istimewanya Aisha.”
Fiandra memutar bola matanya malas. “Sudahlah, lebih baik kamu pergi, cari saja istrimu yang keluyuran tidak jelas itu. Sudah menikah, seharusnya meminta izin suami jika ingin bepergian.”
Ankara mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh, kalau saja dia tidak pandai menahan emosi, Fiandra pasti sudah dia hajar dari tadi. “Ingatlah satu hal, Ayah, Allah maha membolak-balikkan hati manusia. Mungkin saat ini Ayah membenci Aisha, tetapi suatu saat nanti, Ayah akan mencari Aisha dan menyayanginya lebih dari nyawa Ayah sendiri.”
“Tidak akan. Untuk apa saya menyayangi seorang anak yang sudah membuat saya kehilangan istri saya?”
Ankara seketika beristigfar mendengarnya. “Hidup dan mati seseorang, sudah digariskan oleh Allah. Kepergian istri ayah, bukan karena kesalahan Aisha, melainkan sudah takdir dari-Nya. Seharusnya ayah mengikhlaskan, bukan terus hidup dalam kebencian pada anak yang tidak bersalah.”
“Lebih baik kamu pergi sekarang, tidak usah mencampuri urusan saya!”
“Baik, saya memang akan pergi. Saya hanya mengingatkan, penyesalan biasanya datang di akhir. Berhati-hatilah, Ayah. Jangan sampai Ayah menyesal atas perbuatan ayah di saat semuanya sudah terlambat. Hidup dalam penyesalan, rasanya tidak enak. Permisi.”
“Menyesal? Cih, tidak akan.” Fiandra bergumam seraya memandang kepergian Ankara dengan tatapan sulit diartikan.
💭ִ ♡‧₊˚🧸✩ ₊˚🧁⊹
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilihan Hatiku
RomanceStory 3 Pertemuan singkat di antara keduanya menumbuhkan benih-benih cinta dalam diri Ankara. Siapa sangka jika ternyata perempuan yang ditemuinya itu adalah calon istri saudara kembarnya yang telah dipilihkan orang tuanya lewat perjodohan. Beberapa...