🦋42: Apakah Menyesal?

1.2K 189 29
                                    

Berikan banyak cinta untuk cerita ini yang bentar lagi selesai🎀🌷🌸🩰💕💖💗🪷

Chapter ini agak pendek, ya.

💭ִ ♡‧₊˚🧸✩ ₊˚🧁⊹

Fiandra terbangun dengan napas tidak beraturan, keringat membasahi pelipis, dan jantung berdegup kencang. Dia melirik kamarnya yang temaram, tidak ada siapa pun di sana selain dirinya. Mimpi itu, mengapa terasa sangat nyata?

Fiandra menormalkan napasnya yang memburu, meraup wajahnya kasar lalu berjalan menuju kamar mandi. Langkah Fiandra terhenti, menatap foto mendiang istrinya. Kata-kata Mentari dalam mimpinya, berputar bagai kaset rusak dalam benaknya.

“Kamu datang dalam mimpiku setelah sekian lama hanya untuk mengingatkan aku, Mentari?” Jemari Fiandra bergerak pelan menyentuh foto mendiang istrinya dengan tatapan sendu. “Apa sikapku selama ini benar-benar sudah keterlaluan? Rasanya aku bingung. Aku membenci anak itu, tapi mengapa, aku merasa tidak suka ketika ada orang lain yang menganggap dan mengakuinya seperti anaknya sendiri?”

Fiandra ingat betul, bukan hanya sekali dia mendengar orang lain—lebih tepatnya Althair dengan bangganya mengakui Aisha sebagai anaknya. Perasaan Fiandra berkecamuk, antara suka dan tidak suka. Sebab selama ini, dia tidak pernah sekalipun menganggap Aisha anaknya. Namun, mengapa rasanya aneh dan seolah ada yang mengganjal hatinya mendengar Aisha diakui sebagai anak orang lain?

“Tidak mungkin aku menyayangi anak itu, kan? Dia yang sudah membuat aku kehilangan kamu, Mentari. Aku tidak bisa menerima fakta itu, terlebih melihat wajahnya yang sangat mirip denganmu, membuat rasa benciku semakin berkobar. Aku seolah tidak bisa berpikir jernih dan terus membencinya.”

Fiandra berjalan membuka pintu balkon, duduk di kursi kecil yang ada di sana dan menikmati dinginnya angin malam. Helaan napas dihela kasar, Fiandra mendongakkan kepalanya menatap hamparan langit malam yang begitu terang.

Dulu, ketika istrinya masih hidup dan mengandung anak keduanya—tidak lain Aisha, Fiandra amat bahagia. Namun, kebahagiaan itu seolah hilang setelah Aisha dilahirkan dan Mentari dinyatakan meninggal dunia. Kasih sayang yang Fiandra berikan kepada Aisha sejak dalam kandungan, seolah lenyap begitu saja dan digantikan dengan kebencian mendalam.

“Sayang, lihat aku beli apa.” Fiandra duduk di samping sang istri yang tersenyum manis menyambut kepulangannya. Fiandra membuka satu persatu paper bag yang dia bawa, menunjukkan beberapa baju bayi yang baru saja dibelinya. “Aku nggak sengaja lihat baju ini, kepikiran anak kita yang sebentar lagi lahir. Jadi, aku beli. Kamu suka nggak?”

Mentari tersenyum dan mengangguk. “Aku suka, anak kita juga pasti suka,” ujar Mentari seraya mengelus perut besarnya.

Fiandra ikut tersenyum dan mengusap perut istrinya yang tengah hamil delapan bulan. “Setelah dia lahir nanti, aku akan menjadikan dia anak yang paling bahagia, sama seperti kakaknya. Aku akan memberikan apa pun yang dia minta, dan aku tidak akan membiarkan air mata menetes di pipinya.”

Nyatanya apa yang Fiandra ucapkan dulu hanyalah omong kosong semata. Setelah kepergian Mentari, tidak ada sedikit kasih sayang pun yang diberikan Fiandra. Bahkan hanya untuk menggendong bayi kecil Aisha, Fiandra merasa enggan.

Rasa benci yang tertanam dalam dirinya menghasut Fiandra perlahan-lahan menyakiti anaknya sendiri. Segala apa pun usaha yang dilakukan Aisha untuk mendapat kasih sayang sang ayah sama sekali tidak pernah dihargai.

Pilihan HatikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang