7

54 12 0
                                    

Angin malam menguntungkan bagi Asih. Bagaimana tidak, ketika dia menyalakan api dengan pemantik ternyata membesar begitu mudah.

Selanjutnya, dia hanya butuh waktu untuk membuat api tersebut menghanguskan ladang tebu yang siap panen. Apabila keberuntungan berpihak kepadanya, maka kelakuan gadis itu tidak akan dipergoki oleh polisi perkebunan yang tengah berjaga.

Mereka sedang asyik berpesta, tidak tahu jika ladang tebu bakal menjadi abu.

Agar kelakuannya tidak diketahui orang lain, maka gadis itu berlari menghindari perhatian. Pakaian serba hitam yang dikenakannya pun bisa menjadi kamuflase di tengah kegelapan malam. Dia diuntungkan dengan jejeran batang tebu yang tinggi serta rapat satu sama lain. Meskipun banyak sekali penjaga di beberapa titik, tidak mudah bagi mereka untuk bisa menentukan apakah ada penyusup atau tidak ada.

Hingga, Asih berhasil mendekati lokasi pabrik penggilingan tebu. Justru di sanalah banyak sekali orang serta penerangan.

Aku harus menunggu hingga perhatian mereka teralihkan.

Rencana Asih bisa berjalan mulus, setidaknya untuk sementara ini. Tubuhnya mungil sehingga berjongkok pun sudah cukup agar tidak ada petugas ronda yang memergoki dia sedang bersembunyi.

Jarak antara dirinya dengan gedung pabrik hanya sekitar lima puluh meter saja. Ada niat untuk lebih dekat, namun masih ada penjaga yang berpatroli hilir mudik.

Dari kejauhan, dia bisa mendengar suara alunan musik gamelan bertalu. Tidak jelas di mana pemusik itu mementaskan keahliannya. Pandangan Asih masih terhalang oleh deretan batang tebu.

Namun, suara orang berteriak bisa menghentikan musik yang sedang mengalun. "Ada kebakaran!"

Asih bisa tersenyum.

Sekali lagi ada suara orang berteriak, "kebakaran!"

Kentongan pun bertalu.

Tahap selanjutnya, gadis itu harus memastikan jika perhatian orang-orang tertuju pada kebakaran yang disengaja olehnya.

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan ...

Dalam hati Asih, belum sampai hitungan ke sepuluh, petugas patroli tadi sudah berlari ke arah arah sumber api. Hal demikian bisa berarti jika ada kesempatan untuk mendekat gedung pabrik.

Ah, ada lori yang terparkir.

Beruntung baginya, lokomotif lori pengangkut tebu yang terparkir bisa menjadi tempat untuk bersembunyi.

Hingga, dia punya kesempatan untuk berlari ke arah gedung pabrik.

Tidak ada orang yang memperhatikan karena petugas jaga pun lebih tertarik untuk memperhatikan api yang berkobar di kebun tebu. Asih memiliki kesempatan emas untuk masuk ke dalam pabrik.

Tapi, ah, pintunya terkunci.

Asih pun harus memutar otak.

Rumah itu, aku bisa memperoleh sesuatu dari sana.

Asih berlari memutar demi menuju rumah pemilik perkebunan. Jaraknya agak jauh. Sepertinya, rumah tersebut sengaja dibangun agak jauh dari pusat aktifitas produksi gula agar pemiliknya lebih tenang tanpa terganggu oleh hiruk-pikuk suara mesin dan orang-orang yang bekerja.

Hingga, Asih menemukan sebuah jendela.

Ukuran jendela tersebut besar. Bergaya jelusi, dibuat dari kayu jati yang keras. Sayangnya, jendela itu terkunci dari dalam.

Dia bisa mendengar seseorang dari dalam rumah berbicara. Mencoba menguping, namun tidak bisa lama karena dia takut ketahuan oleh seseorang yang datang. 

Panca dan Petaka Sumur TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang