50

29 6 2
                                    

Mulut Bajra menganga ketika matanya menyaksikan Johanna terjatuh ke dalam sumur tua.

Dalam beberapa detik, dia hanya berdiri terpaku. Jantungnya berdebar kencang, keringat dingin bercucuran, terdiam tak berkata.

Sedangkan Panca dan Anna sibuk mencari cara untuk menolong gadis berambut pirang nan bergelombang itu. Ketika yang lain bicara atau berlari ke sana ke mari, tubuh Bajra malah bergetar. Dia panik. Telinganya memang mendengar Anna berteriak kencang dan memarahi tetapi pikirannya tidak menghiraukan teriakan tersebut.

Mulut Anna yang terbuka lebar seakan tidak mengeluarkan suara. Tangan Anna yang menunjuk wajah Bajra pun tidak bisa dimengerti maksudnya.

Kaki Bajra seakan terpaku ke dalam bumi. Bajra diam saja meskipun kawannya sibuk mencari bantuan. Memori anak remaja itu melayang kembali kepada saat dirinya dilemparkan ke dalam sumur tua. Bajra teringat jika sumur di hadapannya gelap dan lembab. Keadaan di sana sungguh menyiksa.

Andaikan saja waktu itu tidak ada Abimana yang selalu menyemangatinya, mungkin saat ini Bajra tidak akan ada di tempat itu. Bajra bisa saja ketakutan ketika melihat bibir sumur.

Kali ini, keberanian Bajra berubah menjadi rasa bersalah. Perasaan tersebut tiba-tiba saja hinggap dalam pikiran. Bagaimana pun, Bajra bukan si raja tega. Menyiksa binatang pun rasanya tidak pernah. Dia seorang anak yang penyayang. Anak-anak kecil akrab dengan Bajra yang murah senyum. Kalaupun dia marah kepada seseorang karena sesuatu, Bajra hanya akan cemberut. Itupun  bertahan sebentar saja, tidak lama kemudian anak itu akan kembali ceria sebagaimana sedia kala.

Tapi, kali ini anak lelaki itu mendorong Johanna hingga ke dasar sumur.

Aku harus bagaimana?

Pertanyaan demikian terlintas dalam pikirannya. Tak ada jawaban yang menghampiri pikiran. Dia kebingungan.

Bajra tak kuasa jika dia melihat keadaan Johanna. Gadis itu tidak terlihat berada dekat di bibir sumur. Dia pasti berada di dasar sumur. Suara Johanna pun tidak terdengar. Dia tidak terdengar meminta tolong atau sekedar menangis karena kesakitan.

Kini, Bajra merasa sendiri dan tak berdaya.

Tidak ada Anna di dekatnya karena telah berlari ke arah rumah Tuan Johannes untuk meminta pertolongan. Sedangkan Panca berlari ke arah rumah tua. Mungkin dia masuk ke rumah itu untuk mencari tali atau apa pun yang bisa dijadikan alat untuk menolong.

Bajra memaksakan diri untuk bergerak. Telapak kaki telanjang milik Bajra perlahan melangkah ke arah bibir sumur.

Bola mata anak bertubuh gempal itu tertuju pada mulut sumur yang menganga. Tidak ada papan atau apa pun yang menutupinya. Hanya hawa menakutkan yang dia rasakan.

Bajra tidak berani untuk melongok ke dasar sumur. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana jadinya jika seseorang dilempar ke sumur kering.

Tidak, tidak, tidak. Aku tidak mendorongnya. Aku tidak sengaja.

Sayang, dia hanya mengatakan itu dalam hati. Lagipula tidak akan ada yang mendengar jika dirinya mengemukakan sebuah alasan. Bahkan, Johanna pun tidak akan mendengar andaikan Bajra bicara.

Gadis itu terlihat tak bergerak.

Mendapati kenyataan yang mengejutkan, Bajra memilih untuk menjauh dari bibir sumur. Satu langkah, dua langkah, dia pun meneruskan langkahnya dengan berlari menuju ladang tebu yang telah selesai dipanen.

Bajra tidak ingin menjadi orang yang disalahkan oleh banyak pihak. Dia pun ketakutan ketika terpikirkan olehnya bagaimana reaksi keluarga Johanna ketika mengetahui jika anak gadisnya terperosok ke dalam sumur hingga tak sadarkan diri. Terlintas dalam pikiran Bajra kemungkinan terburuk jika Johanna tidak sekuat dirinya atau Abimana yang pernah dilempar ke dasar sumur.

Aduh, bagaimana kalau dia mati?

Panca dan Petaka Sumur TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang