Burhan sedikit lega setelah bisa meringkus si anak bertubuh gempal. Meskipun, tangannya harus memegang lumpur yang bau. Tetapi, itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan dua anak buahnya.
"Kalian sungguh tak berbentuk," seraya tertawa lepas lelaki itu menyalakan cangklong yang telah diisi penuh oleh tembakau. "Sekarang, jaga anak ini, jangan sampai kabur lagi!"
Orang yang dimaksud, masih saja berontak meskipun nyaris seluruh tubuhnya dililit oleh tali. Dia teronggok di sudut sebuah ruangan besar nan temaram karena hanya satu lentera yang menjadi alat penerangan.
"Tuan, bolehkah kami beristirahat?"
Bagi Si Pengawal, itu hanya sebuah pertanyaan tetapi bagi Burhan kalimat demikian terdengar seperti sebuah permintaan untuk bermalas-malasan. "Aku pun belum beristirahat, kau meminta untuk beristirahat?"
Orang yang ditanya hanya tertunduk sambil mendekapkan kedua tangan di depan selangkangan.
Plak! Burhan tidak segan untuk menampar.
Tentu saja satu tamparan di pelipis sudah menjadi pertanda jika dua anak buah Burhan tidak diperbolehkan untuk beristirahat.
"Hei, Bajra," Burhan menoleh kepada si anak bertubuh gempal yang teronggok di sudut ruangan, "ingat, kali ini aku tidak mengampunimu. Jika berani kabur, aku benar-benar akan membunuhmu ... kemudian mayatmu akan aku buang ke laut."
Tentu saja orang yang diajak bicara tidak menjawab. Mulutnya ditutup begitupula dengan matanya.
Bagi Burhan, ancaman itu bukan omong kosong belaka. Dia mempertegas ucapannya, "aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku. Dan, aku tidak peduli lagi dengan pembelaan Anna Eijkman."
Lelaki berbaju putih itu pun berjalan meninggalkan ruangan tersebut. Bara api di ujung cangklong menyala dalam kegelapan menjadi satu-satunya penanda jika ada orang dalam ruangan nan gelap. Kini, dia berjalan menuju pintu utama yang tak diterangi oleh satu pun lentera. Lampu di tepi jalan pun tidak menyentuh dinding sisi depan bangunan nan luas tersebut.
Sialan, bajuku sedikit kotor.
Tangan kiri menyeka kotoran di baju kemudian sepatu yang penuh dengan lumpur. Tapi, Burhan tidak terlalu peduli dengan penampilannya yang bisa mengurangi rasa percaya dirinya.
Hari sudah malam, orang-orang pun tidak akan sadar dengan penampilanku.
***
Sebenarnya, malam hari menjadi waktu yang tepat bagi Burhan untuk beristirahat. Kegiatan pada siang hari lumayan menguras tenaga. Hanya saja, keletihan bisa terbayarkan ketika dia meraba segepok uang yang senantiasa tersimpan di saku.
Semoga besok lusa akan kembali bertambah.
Otot-otot tubuhnya kembali lentur. Mungkin karena otaknya tidak lagi tegang sebagaimana sebelumnya. Burhan merasa memiliki tenaga tambahan jika memikirkan betapa akan ada banyak keuntungan yang diperoleh jika dirinya segera menyelesaikan pekerjaan.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi Burhan untuk sampai di depan gedung Koran Batavia; tujuan selanjutnya setelah mengurus si anak bertumbuh gempal. Kini, setelah menghela nafas panjang maka lelaki itu pun berjalan ke arah pintu utama. Tentu saja, dia tidak akan bisa masuk ke dalam gedung tersebut dengan mudah.
Ada seseorang yang mendekatinya, "selamat malam, Tuan."
"Selamat malam."
"Ada keperluan apa Tuan tiba di sini?"
Terkadang, Burhan merasa bosan dengan sapaan petugas keamanan yang terkesan basa-basi. Maka dari itu dia tidak ingin berbasa-basi. "Saya ingin bertemu dengan Tuan Frans."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Petaka Sumur Tua
Mystery / Thriller"Astaga!" Panca mundur selangkah. Bajra heran dengan sikap kawannya. "Ada apa?" Panca tidak langsung menjawab. Bajra mengerutkan kening. Keduanya sepakat untuk sama-sama menengok kembali ke dalam sumur. Memang agak gelap. Kedalaman sumur tersebut...