Burhan benar-benar melakukan ancaman yang telah disampaikannya kepada Panca dan Asih. Lelaki itu berniat menyeret kedua tawanan dengan tangannya sendiri. Hanya saja, kedua remaja itu meronta-ronta meminta untuk dibebaskan.
"Tuan, biar kami saja yang melakukannya," Si Penjaga menawarkan diri untuk membantu.
"Tidak usah, anggap saja ini sebagai ...," Burhan menghela nafas, "ungkapan kekesalan aku kepada anak-anak ini."
Asih menjadi orang yang pertama kali diseret keluar dari rumah tua. Sedangkan Panca masih di bawah pengawasan dua anak buah Burhan.
Dikarenakan mereka tidak bisa berteriak, warga sekitar yang tengah memanen tebu pun tak ada yang menyadari jika ada dua orang yang tengah disekap di dalam rumah tua. Apalagi, suara bising dari lokomotif pengangkut tebu menyamarkan suara-suara yang lebih pelan. Bahkan, suara burung pun tidak terdengar. Atau, Burhan tidak menghiraukan suara-suara burung di pohon mangga yang tengah berbunga.
Cara Burhan menyeret Asih tidak berbeda dengan cara seseorang menyeret bangkai binatang. Tangannya kekar, walaupun dia jarang sekali melakukan pekerjaan kasar. Asih pun tidak sanggup melawan. Tangan dan kaki yang terikat serta mulut yang disumpal sehelai kain, membuat Asih menjadi tidak berdaya.
"Ah, ternyata kau lumayan berat!" Seraya menyeret kaki Asih, Burhan tidak peduli jika kepala anak gadis itu terbentur kaki meja atau tepi daun pintu. "Untungnya, anakku tidak nakal seperti kalian."
Asih berusaha melawan, tapi percuma.
Pipi gadis itu basah karena air mata kemudian menjadi kotor ketika menyentuh lantai yang sudah lama sekali tidak dipel. Rambutnya tidak lagi rapih sebagaimana sebelumnya. Ikat kepala warna hitam berubah warna menjadi kecokelatan ketika Burhan membawanya melintasi pekarangan berupa hamparan tanah kering.
"Kau tahu, Asih. Aku sangat ingin membunuhmu!" Burhan tidak lagi basa-basi. "Andaikan Tuan Johannes ... tidak meminta pembakar ladang tebu ditangkap hidup-hidup ... aku sudah membunuh kalian, sejak kemarin."
Burhan menyeret Asih menuju ke tepi sumur kering di belakang kandang kuda. Ketika sampai di bibir sumur, tangan lelaki itu dilepaskan karena harus membuka tutup sumur.
"Hei, kau mau ke mana?!"
Ternyata Asih mencoba untuk melarikan diri. Meskipun tubuhnya terikat, gadis itu berusaha untuk menjauh dari Burhan. Namun, percuma saja. Terlalu mudah bagi lelaki itu untuk menangkap si gadis kelelawar.
Asih menggelengkan kepala. Tidak bisa bicara karena mulutnya disumpal kain. Dia hanya berusaha untuk memberi isyarat kepada orang di depannya. Lagipula, air mata yang terus berderai sudah menjadi isyarat yang jelas jika dia meminta pengampunan.
"Lihatlah ke bawah sana!" Wajah Asih dihadapkan ke dasar sumur, "kau mengenal orang itu?"
Tidak membutuhkan waktu lama bagi Asih untuk menjawab, tidak mengenalnya, dengan menggelengkan kepala.
"Perhatikan! Kau mungkin mengenal wajahnya."
Burhan menghela nafas panjang. Dia memberi kesempatan kepada Asih untuk berpikir.
"Kau jangan bohong." Burhan menerka jika Asih pura-pura tidak mengenal orang itu. "Dia orang yang menyebarkan ajakan untuk membakar ladang tebu ... dan ... kau melakukannya, semalam."
Wajah Asih ditarik dengan tangan kiri hingga menghadap Burhan. Tangan kanan lelaki itu pun menampar Asih. Bukan hanya satu kali, tetapi dua tamparan, masing-masing satu kali pada setiap sisi.
"Katakan kepadaku, apakah kau mengenal orang itu?"
Asih hanya bisa menangis tersedu.
Burhan pun hanya bisa melampiaskan kekesalannya kepada anak gadis itu. Tanpa ampun, rambut Asih dijambak kemudian diarahkan ke dasar sumur.
"Namanya Abimana, dia wartawan di Koran Batavia. Kau mengenalnya?"
Sekali lagi Asih menggelengkan kepala.
Benarkah anak ini tidak mengenalnya?
Burhan terdiam sejenak.
Dia mulai mengerti kenapa Asih bersikukuh tidak mengenal orang yang terbaring lemah di dasar sumur.
"Asih, apakah kau pernah membaca Koran Batavia?"
Asih mengangguk.
"Kau bisa membaca, benarkah?"
Asih kembali mengangguk.
"Lantas, kau pernah membaca sebuah ajakan untuk ... membakar ladang tebu?"
Asih menggelengkan kepala.
"Ah, pertanyaannya aku ubah. Apakah semalam kau membakar ladang tebu?"
Asih terdiam.
"Oh, berarti benar dugaanku. Kau hanya ikut-ikutan."
Burhan menghempaskan tubuh Asih ke permukaan tanah. Lelaki itu bermaksud untuk menutup bibir sumur. Namun, dia ingin berbicara dengan Abimana yang terbaring lemah di dasar sumur.
"Hei, apakah kau mengenal gadis ini?"
Orang yang ditanya hanya terdiam. Dia tidak menjawab "ya" ataupun "tidak". Burhan pun tidak peduli lagi dengan tanggapan orang di dasar sumur. Dia hanya menganggap Abimana hanya sebagai tawanan yang bisa dimanfaatkan pada waktu yang tepat.
Burhan memilih untuk meninggalkan tepi sumur. Dia kembali menyeret Asih.
"Hei, jaga anak itu!"
Burhan membiarkan Panca bersama anak buahnya. Sedangkan lelaki itu membawa serta Asih untuk mendekat ke arah rel. Jarak antara sumur kering dengan rel tidak terlalu jauh. Suara lokomotif yang menderu terdengar mendekat ketika Burhan menyeret gadis itu sama seperti sebelumnya. Dia menyeret Asih laksana menyeret bangkai binatang.
Terang saja, sikap Burhan ini mengundang perhatian dari warga yang tengah bekerja.
"Perhatikan, ini orang yang membakar ladang tebu, tadi malam!" Burhan harus berteriak kencang agar warga tidak terus bertanya-tanya kenapa seorang pegawai pemerintah menyeret seorang gadis.
Sontak, mereka yang tengah mengayunkan parang atau mengangkut tebu berhenti untuk sementara.
"Wah, jadi ini orangnya?"
"Dasar pengacau!"
Burhan senang ketika warga yang tengah bekerja menyoraki bahkan mengutuk Asih. Hal tersebut menandakan jika Burhan sudah dianggap "berhasil" menangkap pelaku pembakaran ladang tebu yang sudah terjadi berulang kali. Bagi Burhan, ini pertanda baik. Dia bisa menarik simpati warga sekaligus memperoleh imbalan dari pemilik kebun.
"Ah, saya pikir orang yang suka membakar ladang tebu itu ... adalah seorang lelaki."
"Ya, saya juga berpikir begitu, Tuan."
Percakapan diantara para warga seputar tentang keheranan mereka. Kenapa seorang gadis remaja bisa melakukan hal demikian. Lagipula, untuk apa Asih membakar ladang tebu.
Gadis itu hanya terdiam.
"Sudahlah, gadis ini tetap bungkam. Sejak semalam aku menanyainya, dia tetap tidak jujur kepadaku. Mungkin, kalau kita membawa dia ke kantor polisi, maka dia akan bicara."
Semua warga mengangguk setuju.
Selanjutnya, Burhan meminta bantuan warga untuk menaikkan Asih ke atas gerbong. Ketika lokomotif menarik rangkaian gerbong, maka Asih menjadi muatan selayaknya batang tebu yang akan digiling.
"Hei, gadis pencuri!"
Asih yang semula hanya memejamkan mata, terpaksa membuka matanya.
"Aku punya ide." Burhan menyeringai. "Jika kau tidak mau bicara ... apa hubunganmu dengan Abimana ... maka ...."
Asih tampak ketakutan. Jika Burhan bicara demikian maka akan terucap sebuah kalimat ancaman.
"Heh ... maka ... aku akan menggiling tubuhmu sama seperti batang tebu ini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Petaka Sumur Tua
Mystery / Thriller"Astaga!" Panca mundur selangkah. Bajra heran dengan sikap kawannya. "Ada apa?" Panca tidak langsung menjawab. Bajra mengerutkan kening. Keduanya sepakat untuk sama-sama menengok kembali ke dalam sumur. Memang agak gelap. Kedalaman sumur tersebut...