22

41 8 0
                                    

"Asih, perhatikan mesin penggilingan tebu ini," Burhan menunjuk rangkaian mesin di dalam pabrik.

Asih mengerti kenapa orang ini menunjukkan mesin penggilingan.

"Batang tebu pun masuk ke dalamnya, lama-lama menjadi hancur."

Asih menggelengkan kepala berkali-kali.

"Aku terpikir ... bagaimana jika tubuhmu dimasukkan ke sana."

Asih tidak bisa menganggap jika perkataan Burhan sebuah candaan. Meskipun cara dia bicara tampak tenang bahkan diselingi tawa, gadis itu tahu jika Burhan bisa membunuh orang tanpa merasa bersalah. Bagi orang itu, membunuh orang sudah menjadi sebuah pekerjaan.

Begitulah, sifat orang ini yang aku tahu.

Masih teringat jelas dalam ingatan Asih, jika Burhan membantai warga desa Sugihmakmur, seakan-akan membantai binatang. Bahkan lelaki itu menumpuk mayat tepat di pekarangan rumah keluarga Asih.

"Kemudian aku membakarnya," Burhan mengingatkan kejadian kala itu. "Tetapi, orang-orang di sini tidak suka bau daging yang dibakar ...."

Asih pun diingatkan jika lelaki itu pernah melakukan hal yang sama pada seorang pembakar ladang tebu. Orang tersebut apes karena tertangkap oleh petugas ronda malam. Tatkala dilaporkan kepada Burhan, ternyata lelaki malang bukannya dibawa ke Pengadilan, malah dibakar hidup-hidup. Kabar tentang kejadian itu cepat menyebar sehingga cukup menggetarkan hati bagi warga jika kembali membakar ladang tebu.

"Kau tahu Asih, keuntunganku sebagai ... pegawai Pemerintah ... tidak akan ada orang yang melarang aku melakukan hal demikian."

Burhan laksana algojo yang akan mengeksekusi seorang terpidana. Jika ada seseorang yang dianggap menghalangi niatnya maka tak segan-segan bagi dirinya untuk menghilangkan nyawa orang tersebut. Nama Burhan sendiri sudah dianggap sebagai kaki tangan para tuan tanah yang bisa melakukan apa saja asalkan si tuan merasa senang.

Aku tidak tahu jika ternyata Tuan Johannes pun menggunakan jasanya, begitulah pikir Asih.

Gadis itu tidak henti-hentinya menangis meskipun suaranya tidak terdengar. Selain karena mulutnya disumpal kain, suara deru mesin penggilingan tebu menyamarkan isak tangis si gadis serba hitam.

"Asih, adakah sesuatu yang ingin kau sampaikan sebelum kau mati?"

Pertanyaan itu terdengar konyol. Selayaknya, hal demikian disampaikan kepada orang yang akan mati dalam keadaan lumrah. Tetapi, Burhan bertanya seakan dia sedang menunggu kematian orang yang tengah sakit keras. Terlebih, nada bicaranya begitu tenang bahkan bisa dianggap serius.

"Katakan saja. Nanti, aku akan menyampaikannya ... ah, aku lupa." Burhan akhirnya membuka kain yang menutup mulut Asih.

Aku bisa bernafas, walau belum lega.

Burhan tersenyum.

Asih tidak bisa mengartikan apa maksud dari senyuman yang tersungging dari bibirnya. Apakah itu senyuman perpisahan atau senyuman untuk meledek betapa tidak berdayanya seorang gadis bertubuh mungil yang ketahuan menyusup ke rumah orang tanpa izin. Padahal, sebelumnya gadis itu begitu gigih hendak menyelamatkan kawannya.

"Tuan, ampuni saya, Tuan."

"Eiss, aku tidak ingin mendengar permintaan ampun darimu." Tangan kiri Burhan menjambak rambut Asih. Sedangkan tangan kanannya memegang dagu gadis itu. "Asih, kau ini cantik. Sayang sekali, kau malah memilih menjadi seorang pencuri."

"Tuan, ampuni saya. Saya tidak bermaksud ...."

"Akhhh, sudahlah. Aku lupa jika kau sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Semua saudaramu memusuhimu." Burhan mengenal latar belakang Asih. Hal demikianlah yang membuat gadis itu tidak bisa berkutik. "Kasihan sekali hidupmu."

Panca dan Petaka Sumur TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang