62

34 6 0
                                    

Tanpa tahu apa yang harus dilakukan, Panca mengikuti si kakek berambut dikepang. Orang tua itu menunjukkan sesuatu yang bisa digunakan untuk masuk ke dalam gedung.

"Sebuah tangga?" Panca terheran-heran.

"Ya, aku pikir tangga bambu ini bisa dipakai untuk naik ke lantai atas gedung."

Bagi orang tua itu, urusan ini terdengar sederhana. Tetapi, tidak untuk Panca. Peristiwa malam ini bukan hanya tentang bagaimana menaiki anak tangga kemudian masuk ke dalam gedung kantor Koran Batavia.

Ini tentang bagaimana menyelamatkan nyawa seseorang.

Dalam pikiran Panca, terlintas banyak cara untuk bisa menyelamatkan Bajra. Kawannya itu tengah berada di dalam kantor Koran Batavia. Kemungkinan besar dia disekap oleh Burhan dan anak buahnya. Panca juga tahu jika Burhan sedang mengamuk. Ketika sebelumnya Panca masuk ke rumah madat, dia mendapati Burhan meracau dan bicara tentang ancaman yang bisa membahayakan Bajra.

"Ayolah, Nak," si Kakek mengajak Panca untuk berjalan ketika melihat anak remaja itu bengong.

Panca pun menganggukkan kepala. Dia tidak menanggapi dengan bicara.

Tangan Si Kakek mengangkat tangga bambu yang semula tergeletak di belakang rumahnya. Lokasi tempat tinggalnya itu tidak jauh dari kantor Koran Batavia. Hanya terpisah beberapa blok saja. Panca pun tidak keberatan untuk membantu orang tua itu mengangkat tangga bambu. Dengan langkah cepat, mereka segera menuju ke tempat kerusuhan.

Di tengah jalan, mereka berpapasan dengan banyak orang. Satu sama lain saling bertanya tentang keadaan tempat kejadian perkara. Ada juga yang bertanya pada si kakek perihal tangga bambu yang dibawanya bersama Panca. Jawaban orang tua itu terdengar asal saja. Mungkin dia tidak ingin jika niat dirinya dan Panca diketahui oleh banyak orang apalagi oleh orang yang tak dikenal.

Beberapa saat kemudian, Panca dan si kakek telah sampai di tepi jalan dekat gedung kantor Koran Batavia. Ternyata ada sesuatu terjadi.

"Waduh, ternyata gedungnya kebakaran!" Panca berteriak sehingga teriakannya terdengar oleh orang-orang yang berkerumun.

Kebakaran yang dilihat memang belum terlalu besar. Orang-orang yang berkerumun baru melihat titik api di sebuah sudut ruangan pada lantai dua. Tidak ada orang yang berniat membantu memadamkan api tesebut. Alasannya jelas.

"Wah, kami tidak berani. Di sana masih banyak orang-orang yang berbuat rusuh itu." Begitulah kalimat yang terlontar dari warga yang berkerumun.

Panca sendiri merasakan hal yang sama. Mana mungkin dia berlari masuk ke dalam gedung kemudian memadamkan api. Andaikan dia melakukan hal tersebut maka dia harus memperhitungkan jika keselamatan dirinya pun terancam oleh dua hal sekaligus. Api yang melalap tubuh ditambah anak buah Burhan yang beringas.

Panca bisa melihat cukup jelas cahaya terang di dalam ruang kerja komunal kantor yang dimaksud. Anak remaja itu pernah mendatangi tempat tersebut beberapa waktu lalu. Dia pun bisa membayangkan pada sisi mana titik api itu berada.

"Ini kebakaran atau sengaja dibakar?" ucapan si kakek dengan suaranya yang parau sempat mengundang perhatian.

Orang-orang menatap si lelaki tua. Mereka pun saling lirik satu sama lain. Sebuah pertanyaan yang wajar terlontar karena masih ada orang di dalam gedung tersebut padahal api semakin membesar.

"Aduh, ini bahaya," si kakek memandang Panca.

Anak remaja itu pun mengangguk.

"Ayo. Kita harus segera mendekat." Si kakek mengangkat tangga bambu di pundaknya.

Panca dan Petaka Sumur TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang