Anna masih gelisah, tidak bisa duduk tenang. Kuku telunjuk kanannya digigit dengan tepi bibir. Kemudian dia berdiri, melangkah ke tepi selasar. Sedangkan pandangannya terus tertuju pada pos keamanan tempat dimana Bajra masih dalam pengawasan polisi perkebunan.
"Anna," Johanna mendekat setelah tangan kirinya menaruh cangkir di meja. "Kau harus menjaga jarak dengan orang seperti dia."
"Bajra? Menjaga jarak?"
"Apakah kau merasa jika sikapmu tadi sungguh berlebihan?"
"Membela kawan sendiri dianggap sebagai perbuatan berlebihan?"
"Anna, bagaimanapun dia adalah anak pribumi, bukan warga kelas ...."
"Oh, silahkan saja kalau kau berpikir demikian. Kami memang beda kelas sosial. Tapi, banyak hal telah kami lewati bersama. Bahkan, aku berhutang nyawa kepada kawan-kawanku."
Tampaknya jalan pikiran Johanna berbeda dengan jalan pikiran Anna. Mereka berdua berbeda pandangan tentang bagaimana menempatkan diri mereka di tengah masyarakat. Sesuatu yang klise.
"Aku hanya meniru orang tuaku. Mereka memperlakukan orang pribumi ...," Johanna menoleh kepada seorang wanita pembantu rumah tangga yang membawa piring berisi kudapan, "sebagaimana seharusnya."
"Seharusnya?"
"Itulah yang selalu dikatakan oleh ayah dan ibuku. Mereka di bawah kita, bangsa Eropa."
Anna mulai tahu isi otak kawan barunya itu. Ah, orang ini tidak layak aku jadikan kawan.
Johanna mengangkat alis. Tangan kanannya memegang bahu Anna.
Namun, Anna menyingkirkan tangan itu dari bahunya. Kemudian, kakinya melangkah menuruni anak tangga yang membatasi selasar rumah dengan pekarangan nan luas. Gadis berambut dikepang ganda itu berjalan cepat.
"Anna, kau mau ke mana?"
Anna malas untuk menyahut.
Di depan, pos keamanan masih dijaga ketat. Ada tiga lelaki pribumi berseragam biru balik memandangi Anna yang memasang wajah serius. Langkah tegap Anna menyiratkan jika dia tengah memikirkan satu hal, aku harus membebaskan Bajra dari segala tuduhan.
"Nona, Tuan Johannes sudah melarangmu mendekat ke sini."
Anna tidak menghiraukan larangan tersebut.
"Paman, aku hanya ingin bicara dengan anak itu," mata Anna tertuju kepada Bajra yang masih meringkuk di sudut ruangan pos keamanan.
"Membicarakan apa lagi?"
Anna memang tidak senang jika warga pribumi tidak menghargainya. Benar juga kata Johanna, sebenarnya orang Eropa memiliki keistimewaan di depan warga bumiputera. Namun, ketika Anna terang-terangan memihak Bajra _sebagai rakyat jelata_ maka keistimewaan seakan luntur.
Anna menoleh kepada Johanna yang masih berdiri di bawah pilar selasar rumah. Matanya sungguh berapi-api. Kau membiarkan aku sendiri, berarti kau menegaskan berada di pihak mana.
Melihat Anna begitu marah, maka tiga petugas jaga tersebut bersiap untuk menggunakan senapan jika dibutuhkan.
"Kenapa? Kalian mau menembak aku?! Silakan."
Para petugas itu saling lirik. Mereka tampak ragu untuk berbuat lebih dari apa yang sedang dilakukannya.
"Minggir!" Anna menepis senapan yang ditenteng sembari terus melangkah menuju pintu.
Spontan, salah seorang penjaga memegang tangan Anna.
Plakk!
Anna tidak senang dengan perlakuan kasar si penjaga. "Kurang ajar!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Petaka Sumur Tua
Mystère / Thriller"Astaga!" Panca mundur selangkah. Bajra heran dengan sikap kawannya. "Ada apa?" Panca tidak langsung menjawab. Bajra mengerutkan kening. Keduanya sepakat untuk sama-sama menengok kembali ke dalam sumur. Memang agak gelap. Kedalaman sumur tersebut...