Bajra dibawa menyusuri jalanan Ibu Kota. Matanya ditutup, mulutnya pun disumpal, kaki dan tangannya diikat. Dia sungguh tidak berdaya.
Cukup lama anak remaja itu disekap serta dibawa berkeliling menumpang kereta kuda. Entah apa maksud Burhan membawa Bajra berlama-lama dalam kereta kuda. Bajra tidak tahu akan dibawa ke mana. Dia pun tidak bisa melihat sisi kiri dan kanan jalan untuk menjadikannya penanda. Anak bertubuh gempal itu cukup mengenal Batavia, sehingga bisa menerka sedang berada di bagian mana dalam ibu kota jika bisa melihat penanda di sisi kiri atau kanan jalan raya.
Aku akan dibawa ke mana?
Pertanyaan tersebut masih menjadi teka-teki dalam benaknya. Ada berbagai kemungkinan, apakah Bajra akan dibawa jauh hingga ke luar kota. Atau, bisa saja dia hanya berputar-putar di dalam kota sehingga membuat Bajra pusing untuk menentukan di mana lokasi perhentian kereta kuda itu nantinya.
Aku harus memusatkan pikiran.
Ketika mata tidak bisa menjadi alat untuk mencari tahu ke mana dirinya dibawa pergi, maka telinga bisa menjadi alat cadangan.
Aku sedang di mana? Jalan raya begitu sepi, tidak terdengar orang bicara atau keramaian selayaknya di pasar.
Kesimpulan pertama, Bajra tidak dibawa ke tempat yang ramai. Dia tidak dibawa ke Pecinan atau Kampung Arab tetapi dibawa ke wilayah pemukiman orang Eropa yang cenderung sepi.
"Hei, kau jangan menguap!" Burhan membentak anak buahnya.
"Maaf, Tuan." Terdengar Si Pengawal menjawab sambil terkekeh. "Saya tidak biasa berlama-lama duduk di kereta kuda."
"Awas ya, jika kau tertidur maka aku tidak akan segan menghukummu."
Bajra tidak terlalu memperdulikan hal apa yang diobrolkan oleh ketiga orang penyekap dirinya. Anak remaja itu terus memusatkan pikiran agar bisa mendengar suara-suara di luar sana. Apabila Bajra bisa mengenali suara di sekitar jalan raya maka dia bisa membayangkan sedang berada di Batavia wilayah sebelah mana.
Kota ini cukup luas. Tetapi, setiap wilayah memiliki ciri khas masing-masing. Ada kalanya Bajra mendengar suara bedug yang ditabuh. Berarti kereta kuda sedang berada dekat dengan sebuah masjid. Sesekali, terdengar suara orang saling sapa satu sama lain dalam bahasa Jawa, penanda jika dia melewati sebuah perkampungan orang-orang Jawa.
Namun, sikap Bajra ini ternyata mengundang kecurigaan dari Burhan. "Ha, anak ini pintar. Terpaksa aku akui."
"Kenapa Tuan bicara demikian?"
"Dia mendengarkan apa yang sedang terjadi di luar sana." Burhan menyimpulkan jika Bajra tidak banyak meronta-ronta karena dia sedang berkonsentrasi. "Dasar bocah licik!"
"Kita tutup saja telinganya, Tuan."
"Harus ditutup. Cari ... kapas ... atau daun."
Kereta berhenti untuk sementara. Seorang anak buah Burhan, Si Pengawal keluar kereta kuda untuk mencari benda yang bisa menyumbat pendengaran anak bertubuh gemuk itu. Entah kebetulan atau tidak, kereta kuda berhenti tepat di bawah pohon kapuk. Orang yang diberi tugas untuk mencari bisa langsung kembali sambil tersenyum lebar.
"Bagus, ternyata kau lelaki beruntung, Adin." Burhan langsung memerintahkan Si Pengawal untuk menyumbat telinga Bajra dengan kapuk. "Sekalian hidungnya."
"Nanti dia kesulitan nafas, Tuan."
"Aku tidak peduli!" Burhan membentak karena merasa jika perintahnya harus dipertanyakan lebih dahulu. "Dia mati pun aku tidak peduli! Kita tinggal membuangnya ke sungai!"
Kali ini Bajra meronta-ronta. Namun, apa daya jika dia harus melawan tiga lelaki dewasa yang menyekap dirinya. Anak itu pasrah saja apalagi setelah Burhan mengancamnya dengan sebilah golok di leher.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Petaka Sumur Tua
Bí ẩn / Giật gân"Astaga!" Panca mundur selangkah. Bajra heran dengan sikap kawannya. "Ada apa?" Panca tidak langsung menjawab. Bajra mengerutkan kening. Keduanya sepakat untuk sama-sama menengok kembali ke dalam sumur. Memang agak gelap. Kedalaman sumur tersebut...