Perbincangan diantara Panca, Bajra dan Anna memanas. Sedangkan Johanna masih menjadi pihak yang mengamati arah pembicaraan ketiga anak remaja tersebut.
"Kau pikir, siapa dirimu?!"
Panca menyentuh bahu Bajra agar tidak bicara demikian. Bajra malah menyingkirkan tangan kawannya. Anak bertubuh gempal itu merasa tidak memperoleh dukungan. Dia tidak ingin menatap Anna sebagaimana hari-hari sebelumnya. Berbicara dengan Anna sambil dipenuhi senyuman bahkan ditambah sikap merendah. Tetapi, tidak demikian dengan saat ini.
"Ingat, aku tidak akan memaafkan kelakuan kalian." Anna mempertegas sikapnya.
Cukup lama Bajra dan Anna saling melempar kalimat-kalimat pedas. Jika Anna membicarakan Bajra sebagai anak manja maka mudah saja bagi Bajra untuk membalasnya. Anna dianggap sebagai anak yang sombong dan tak tahu terima kasih, demikianlah pendapat Bajra.
Ketika sedang bertengkar, hal yang terlintas tentu saja keburukan perangai seseorang. Anna jarang sekali menghina fisik Bajra yang gemuk. Karena hal tersebut, Bajra jadi lambat bergerak. Bahkan Anna lebih lincah meskipun dia seorang anak perempuan. Kini, keadaan demikian malah disampaikan terang-terangan tanpa memikirkan perasaan lawan bicara.
Bagi Bajra, ini menjadi momen untuk menyampaikan isi pikirannya yang telah lama terpendam. Tentu saja selama ini anak lelaki itu menghargai Anna sebagai sahabat yang baik tanpa memandang latar belakangnya. Kebaikan Anna pun lebih banyak dibandingkan hal buruk yang dia perlihatkan.
Tetapi, Bajra lupa akan hal tersebut. "Seharusnya kau pergi dari sini! Dasar orang asing tidak tahu diri!"
Dalam keadaan demikian, Panca menjadi pihak yang berpikir keras bagaimana caranya mendamaikan dua kawannya ini. Meskipun Anna sudah enggan menganggap dirinya sebagai sahabat, tetapi Panca belum menerima keputusan tersebut.
Sedangkan Johanna belum segenapnya mengerti kenapa Anna begitu marah kepada dua anak remaja di depannya. Gadis bergaun setengah betis itu hanya bisa memperhatikan apa yang menjadi pangkal permasalahan diantara mereka.
Hingga, Johanna memperoleh kejelasan dari seseorang yang sudah dikenalnya.
"Ha, ternyata kalian ada di sini?"
Pertengkaran berhenti.
"Tuan Burhan," Johanna menyapa orang yang datang dengan berkuda.
"Selamat siang, Nona-nona." Burhan turun dari kuda. Kini dia dia hanya sendiri tanpa ditemani oleh anak buahnya. Seperti biasa, tangan kanan lelaki pribumi itu memegang cangklong. Dia tampak menikmati momen langka di hadapannya.
Ketika melihat Burhan datang ke rumah tua, Panca menjadi pihak yang merasa bersalah. "Tuan Burhan, kami hanya kebetulan lewat."
Sedangkan Bajra sebaliknya, anak itu seakan memiliki keberanian di depan Burhan. Dia menatap lelaki berbaju putih dengan tatapan tajam. Kedua tangan Bajra dikepal.
Burhan tahu sikap menantang dari Bajra. Hanya saja lelaki itu menahan diri untuk tidak bersikap keras di depan Anna dan Johanna.
"Ada gerangan apa Tuan kemari?" Johanna bertanya dengan polos.
"O, Nona. Hanya jalan-jalan sebentar." Lagi, dia mengisap cangklong di tangannya. "Baru saja saya menemui Tuan Johannes dan koleganya untuk berbicara tentang satu hal."
Semua remaja itu tampaknya ingin tahu apa yang telah dibicarakan.
"Jika penjahat akan kembali ke tempat kejadian perkara."
Kalimat demikian dimengerti oleh Anna. Gadis itu menatap Panca dan Bajra dengan sebuah tatapan sinis. Sedangkan Panca dan Bajra enggan menatap balik Anna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Petaka Sumur Tua
Mystery / Thriller"Astaga!" Panca mundur selangkah. Bajra heran dengan sikap kawannya. "Ada apa?" Panca tidak langsung menjawab. Bajra mengerutkan kening. Keduanya sepakat untuk sama-sama menengok kembali ke dalam sumur. Memang agak gelap. Kedalaman sumur tersebut...