40

31 7 0
                                    

Panca dihadapkan pada dilema yang membawanya untuk memilih antara mengedepankan pendapat pribadinya atau menyelamatkan pertemanan. Ketika tahu jika Anna begitu marah kepada dirinya dan Bajra, maka anak remaja itu harus segera bicara dengan kedua kawannya, tentu dengan cara yang berbeda.

"Raden Panca, sebaiknya kau pergi dari sini ...!" Jarang sekali Anna begitu marah kepada Panca.

Tetapi, kemarahan Anna kali ini sulit reda meskipun hari telah berganti. Juga, berkali-kali Panca meminta maaf kepada Anna.

"Kau tahu, aku sudah menanggung malu kepada keluarga Tuan Johannes karena bersikap lancang, kok bisa-bisanya si Bajra membantu pengacau seperti Abimana."

"Maaf, Nona," Panca merapatkan kedua tangannya di perut sambil sedikit membungkuk.

Tapi, Anna tidak bergeming.

"Terus terang ... saya tidak tahu jika apa yang dilakukan oleh kami berdua ... akan berdampak pada perusahan Tuan Eijkman."

Anna membuang muka.

"Kami pikir, menolong Paman Abimana ... waktu itu keadaannya sangat menyedihkan. Dia terkapar di dasar sumur." Panca benar-benar kesulitan menata kata. Dia sendiri merasa terjepit dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan. Lidahnya kelu. "Ternyata, niat kami untuk membantu malah membawa kerugian kepada perusahaan milik Tuan Eijkman."

Anna enggan merespon pembelaan dari kawannya. Dia memilih untuk mengatupkan kedua bibirnya sembari melipat kedua tangan di depan dada.

Sejenak, mereka berdua hanya terdiam.

Hal yang terdengar hanyalah suara ayam betina berkotek ditambah tangis balita dari arah gubuk para pegawai. Sesekali terdengar suara burung gereja yang beterbangan di plafon rumah.

Panca pun terpaksa menanti Anna untuk bicara kembali. Sudut matanya tertuju kepada seorang lelaki pribumi bertelanjang kaki yang datang menghampiri.

"Raden, ternyata Raden ada di sini." Si kusir tersenyum ramah. Tampak gigi milik lelaki kurus itu yang tidak rapih. Meskipun begitu, dia percaya diri memamerkannya kepada Panca.

"Paman, saya hanya membicarakan sesuatu dengan Nona Anna."

Mendengar Panca bicara dengan si kusir sepertinya Anna memiliki alasan untuk mengusir Panca. "Kami hendak bepergian, jika tidak ada lagi yang ingin kau bicarakan, silakan pergi ...!"

Panca mengangguk pelan. Sejak awal, Panca sudah menduga jika Anna hendak bepergian. Gadis itu sudah berdandan. Rambutnya disanggul serasi dengan gaun putih berenda yang dikenakannya. Wangi tubuh gadis itu semerbak terbawa semilir angin yang berhembus lembut.

Panca berpamitan kepada Anna kemudian berbalik badan.

"Seharusnya aku sudah menduga kalian akan melakukan ini ketika kau mengajakku ke kantor Koran Batavia."

Panca tidak jadi melangkahkan kaki ketika Anna kembali bicara.

"Kali ini, kalian tidak usah menemuiku lagi." Anna bicara dengan nada tegas. "Sampaikan kepada anak-anak di kampung, aku berhenti mengajari mereka menulis dan membaca."

Mendengar kalimat itu, Panca semakin merasa bersalah. Dia tidak menyangka jika permasalahan antara dirinya, Bajra dan Anna akan berakibat luas. Bahkan, hubungan baik antara Anna dengan anak-anak di Desa Pujasari menjadi renggang.

Kaki telanjang milik Panca pun melangkah di jalan berbatu dan berkerikil yang menghubungkan pekarangan rumah keluarga Eijkman dengan sebuah jembatan di atas sungai kecil. Panca tidak menoleh ke arah rumah perkebunan bergaya Indis di atas bukit hingga dia sampai di tepi sungai. Pikirannya dipenuhi oleh banyak hal bahkan tidak menyadari jika kakinya sudah menginjak jembatan berbahan kayu.

Di sana dia berhenti melangkah.

Bukan karena ada seseorang yang memintanya untuk berhenti melangkah, tetapi pikirannya merasa berat jika harus berjalan terus hingga menemui orang-orang di kampung. Karena sibuk dengan pikirannya sendiri, Panca tidak mendengar ketika ada kereta kuda yang melintas.

"Raden, jangan melamun di pinggir jalan!" si kusir berteriak sambil tertawa.

Panca hanya membalas dengan sebuah senyuman. Kemudian matanya tertuju kepada penumpang yang duduk di dalam kereta kuda.

Anna enggan menyapa atau sekedar bertatapan dengan kawannya yang tengah berdiri di pinggir jembatan.

Gadis itu masih marah kepadaku.

Panca pun terpaksa mengajak kakinya untuk menjauh dari tempatnya kini berdiri. Menyeberangi jembatan yang panjangnya hanya beberapa meter saja. Setelah sampai di ujung, kaki kembali berhenti melangkah.

Mereka hendak ke mana ya?

Panca dan Petaka Sumur TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang