18

38 9 0
                                    

Anna memandang kepada lima orang pria yang tengah duduk di meja. Satu diantara mereka adalah ayahnya sendiri, Tuan Eijkman. Sedangkan orang yang memimpin pertemuan, duduk di ujung dekat dengan dinding, pemilik perkebunan, Tuan Johannes.

Sisanya, aku tidak mengenalnya.

Ruangan itu terasa familiar bagi Anna. Pada dinding tepat di belakang Tuan Johannes terpajang sebuah lukisan pemandangan alam. Di sisi lainnya, sebuah peta. Entah peta apa, Anna belum sempat menelisiknya lebih lanjut.

"Saya harus bicara ...."

Menerobos sebuah pertemuan, sungguh perbuatan yang mengundang rasa kesal. Mungkin saja mereka sedang membicarakan hal yang serius. Lalu, tiba-tiba saja seorang gadis mengganggu keseriusan diantara mereka.

"Anna, ayah tidak suka dengan apa yang kau lakukan! Ayah tidak mendidikmu seperti ini!"

"Aku tahu ini salah, tetapi aku harus melakukannya."

"Kau tahu, jika aku mengajakmu ke sini bukan untuk mengacaukan rapat penting. Kau sudah besar, kau bukan anak kecil lagi, Anna. Sudah kuberitahu, jika kita datang ke sini untuk membicarakan bisnis."

"Aku tahu, Ayah. Tetapi ...."

Tuan Eijkman menghela nafas, "cepat keluar!"

Anna tidak serta-merta keluar ruang pertemuan. Dia hanya berdiri terpaku.

"Cepat keluar, atau aku akan menyeretmu, Anna!"

Anna tidak bergeming.

"Ah, jika tahu aku akan berulah, aku tidak akan mengajakmu ke sini."

Dalam beberapa detik kemudian, suasana hening. Tuan Johannes sepertinya mengerti alasan kenapa Anna menerobos masuk ke dalam ruang pertemuan. Tetapi, tidak dengan empat orang koleganya, termasuk Tuan Eijkman.

"Ayah, Ayah harus membebaskan Bajra. Dia tidak bersalah."

Jelas saja Tuan Eijkman terheran-heran. "Ada apa denganmu?" Sang ayah masih marah dengan sikap Anna sebelumnya. Ditambah, anak gadisnya menyodorkan masalah yang belum diketahui titik pangkalnya.

"Bajra hanya kebetulan ada di sana."

"Bajra? Kawanmu ... dari Desa Pujasari, ada apa dengannya?"

Anna mengalihkan tatapan matanya kepada Tuan Johannes. Tentu saja pria itu tidak serta-merta meladeni ocehan dari seorang anak gadis seumuran anaknya, Johanna. Dia membuka kacamata kemudian meletakkan benda itu di atas meja.

"Ceritakan, apa yang sebenarnya terjadi?" Tuan Eijkman berubah sikap. Kemarahannya memang mereda, tetapi berganti kebingungan.

Anna mengusap air mata di pipi. Dia menghela nafas untuk menceritakan apa yang telah terjadi kepada Bajra.

"Tuan Eijkman, ini hanya masalah kecil. Putri anda terlalu membesar-besarkannya." Ternyata Tuan Johannes lebih dahulu bicara seakan tidak ingin jika Anna bercerita perihal alasan Bajra ditahan.

Anna masih berdiri dengan tangan terkepal.

"Anak itu ketahuan mencuri, dia seharusnya dihukum atas kesalahannya. Terlepas, apakah dia kawan putri anda atau bukan," Tuan Johannes bicara kepada Tuan Eijkman kemudian mengalihkan pandangan kepada Anna.

"Dia tidak mencuri. Berkali-kali dia mengatakan itu, tetapi Tuan Johannes ...."

"Dia harus bisa membuktikannya di pengadilan. Bukankah itu jalan yang seharusnya ditempuh."

Anna tidak berkutik jika harus dihadapkan kepada proses pengadilan. Dia tidak mengerti bagaimana sebuah proses pengadilan bakal berjalan. Hal yang dipikirkannya, jika seorang pribumi telah masuk ruang pengadilan maka dia akan keluar sebagai pesakitan.  

Panca dan Petaka Sumur TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang