Bagi Panca, Bajra bukan hanya sahabat. Mereka sudah bermain bersama sejak masih balita. Rumah keduanya bertetangga dekat di Desa Pujasari. Ketika sudah beranjak remaja, mereka berdua melakukan banyak hal bersama. Menggembala ternak, membuat gerabah hingga menjualnya ke ibu kota.
"Aku khawatir jika dia ditangkap oleh orang jahat." Panca bicara sambil menatap jauh ke angkasa.
"Kau tidak usah berpikir macam-macam."
Semburat cahaya di cakrawala menjadi penanda jika waktu akan segera berganti. Malam di Batavia terkenal mengerikan, penjahat pun berkeliaran jika hari sudah gelap. Panca menjadi saksi betapa malam hari sungguh bisa menjadi sangat mengerikan bagi warga.
"Kita mencari masjid, kau sholat terlebih dahulu." Anna memberi saran pada kawannya yang mengendalikan dua sapi penarik pedati. "Aku mencari makanan, kita harus mengisi perut terlebih dahulu, sebelum meneruskan pencarian."
Saran dari Anna tidak bisa ditolak oleh Panca. Anak lelaki itu mengajak si sapi untuk berbelok menuju Kampung Arab. Di sana, ada masjid besar yang biasa ramai ketika Maghrib tiba. Orang-orang berbondong-bondong untuk melaksanakan sholat setelah berkegiatan seharian.
"Sambil tanyakan kepada orang-orang di masjid, mungkin mereka melihat Bajra."
"Ya, Nona." Panca turun dari pedati, "kau pun jangan pergi jauh. Ini Batavia, bukan rumah perkebunan Tuan Eijkman yang sepi."
"Ya, Raden. Bawel."
Panca meninggalkan Anna yang duduk di atas pedati. Bukan hanya satu buah pedati yang terparkir di halaman masjid, ada banyak kendaraan serupa yang berjejer di sana. Mereka yang berdatangan dari luar kota, terbiasa menggunakan pedati untuk mengangkut barang sekaligus menggunakannya sebagai tempat tidur kala malam.
Baru saja Panca menginjakan kaki di selasar masjid, sudah ada orang yang menyapanya, "kali ini, kau tidak ditemani kawanmu yang bertubuh gempal itu?"
Panca tersenyum ketika orang di depannya mengarahkan pandangan kepada Anna yang masih duduk di bangku pedati.
"Dia ikut berdagang?"
"Tidak, justru kami sedang mencari Bajra. Dia ... entahlah ... anak itu tidak mengatakan akan pergi ke mana."
Orang yang diajak bicara, masih muda. Dia tampak lebih banyak mengatakan hal lain tentang Bajra, mungkin bermaksud menghibur Panca agar tidak terlalu khawatir, "anak itu sudah besar. Aku yakin jika dia bisa menjaga diri."
"Aku harap demikian, Bang. Tetapi, kau tahu lah apa pun bisa terjadi."
"Aku paham, tetapi kau tidak usah berpikir hal-hal jelek."
Perbincangan diantara mereka berdua terhenti tatkala suara iqomah terdengar dari dalam masjid. Tentu saja mereka berdua tidak bisa mengabaikan panggilan untuk segera menyelesaikan semua aktifitas.
***
Tidak jauh dari masjid, Anna menunggu sambil mengamati keadaan. Dia tidak bisa mengabaikan bau harum dari masakan yang berasal dari warung. Apalagi menyaksikan jajanan yang berjejer di sana. Bagi gadis itu, hal demikian merupakan pemandangan yang langka. Bagi seorang gadis perkebunan, menikmati jajanan di malam hari bukanlah yang hal biasa dilakukan.
Langkah kaki kanannya menjadi penanda jika Anna memang tidak bisa menahan godaan. Dia mendekati warung yang tengah dijaga oleh seorang wanita berkebaya. Wanita itu melempar senyuman tatkala Anna singgah di sana.
"Silakan, Nona. Ada banyak makanan yang bisa Nona pilih."
"Saya pesan, dua potong ayam dan nasi, dibungkus." Seraya duduk di bangku yang tersedia, Anna memperhatikan bagaimana si penjaga warung bekerja.
"Ditunggu ya, Nona."
Anna mengangguk pelan. Matanya tertuju pada kacang rebus yang menumpuk di meja. "Sekalian, saya minta kacang rebusnya dibungkus."
"Ya, Nona."
Anna menopang dagu. Sesekali dia memperhatikan orang-orang yang baru masuk ke dalam mesjid. Ketika melihat seorang anak bertubuh gemuk, ah, aku teringat anak itu. Anna pun memesan kembali makanan untuk dibawa, "Bi, saya pesan satu bungkus lagi, ayam dan nasi."
"Oh, begitu, Nona."
Beberapa saat kemudian, pesanan pun selesai. Ketika Anna sedang merogoh saku, si penjaga warung tampak memperhatikan gadis berambut agak pirang itu. Anna mengerti kenapa si penjaga warung seakan penuh tanya dalam pikirannya, "saya sedang mencari kawan yang belum pulang. Padahal sudah petang."
"Kawan Nona, perempuan seperti Nona?"
"Bukan, dia orang Sunda. Anak remaja, tubuhnya gemuk, tingginya sebahu saya. Bibi pernah melihatnya?"
"Oh, kawan. Saya pikir Nona sedang mencari pembantu Nona."
"Bukan. Kami berkawan."
"Nah, itu?"
"Bukan. Bukan dia."
Orang yang ditunjuk agak heran ketika orang yang tidak dikenalnya tersenyum.
"Kamu mirip kawan saya. Maaf."
Orang itu pun duduk di bangku kemudian mengambil segenggam kacang rebus yang tersaji di meja. Tetapi, si penjaga warung malah marah. Ternyata, dia belum membayar utang padahal sudah jatuh tempo.
"Nona, orang dengan ciri seperti itu, banyak." Si penjaga warung kembali meneruskan obrolan.
"Begitu, ya."
"Ada ciri yang lebih khas?"
"Apa, ya." Anna berpikir sejenak, "bajunya, mirip dengan yang dipakai kebanyakan lelaki di sini."
Obrolan Anna tidak berlanjut setelah tahu jika Panca selesai sembahyang. Gadis itu melangkah mendekati Panca kemudian mengajaknya untuk melanjutkan pencarian. Panca heran ketika Anna tersenyum sambil memamerkan tiga bungkus nasi dan sebungkus kacang tanah.
"Maaf, Nona. Aku jadi merepotkanmu. Nanti uangmu akan aku ganti."
"Tidak usah."
"Eis, aku jadi merasa berutang kepadamu."
Panca berjalan mendekati pedati. Tangannya meraih lentera yang tergantung di sana. Meminta api kepada orang sekitar untuk menyalakan lentera. Setelah menyala, lentera digantungkan di atap pedati.
Bagi mereka, waktu sangatlah berharga. Tidak ada waktu untuk beristirahat lebih lama lagi. Tidak ada waktu pula untuk berjalan-jalan menikmati malam di Ibu Kota.
"Kita akan ke mana?"
Panca tidak langsung menjawab. Sambil mengatur langkah si sapi, dia berpikir.
"Ah, sebaiknya kita makan dahulu agar bisa berpikir."
"Kau makan dahulu. Nanti kita bergantian."
Anna setuju dengan usulan demikian. Sebungkus nasi dibuka kemudian diletakkan di lantai pedati. Gadis itu duduk bersila diantara tumpukan gerabah yang belum laku terjual.
"Nona, malam kemarin, Bajra disekap di dalam sumur bersama seorang tawanan."
"Ya, Asih telah menceritakannya kepada kita."
"Tawanan itu, ternyata seorang wartawan."
"Ya. Lantas?"
"Aku yakin jika Bajra berbincang dengan orang itu."
"Memperbincangkan apa?"
Panca menggelengkan kepala.
"Bajra tidak pernah bicara apa pun tentang ...."
"Aku merasa, orang itu meminta Bajra untuk melakukan sesuatu."
"Melakukan apa?"
"Entahlah. Mungkin ada hubungannya dengan koran ...."
"Koran Batavia? Maksudmu Bajra pergi ke sana untuk menyampaikan sesuatu?"
Panca mengangguk sambil menoleh kepada Anna. Anna pun berhenti mengunyah, matanya terbelalak.
"Ya, Alloh. Terima kasih Kau telah memberi kami petunjuk." Panca tahu harus mengajak si sapi menyusuri jalan yang mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Petaka Sumur Tua
Mystery / Thriller"Astaga!" Panca mundur selangkah. Bajra heran dengan sikap kawannya. "Ada apa?" Panca tidak langsung menjawab. Bajra mengerutkan kening. Keduanya sepakat untuk sama-sama menengok kembali ke dalam sumur. Memang agak gelap. Kedalaman sumur tersebut...