54

21 5 0
                                    

Bagi Panca, kota Batavia kala malam merupakan kota yang penuh dengan kejahatan. Karena alasan itu pula dia sangat mengkhawatirkan Bajra. Kawannya itu bukan anak yang terbiasa main sendiri kala malam. Andaikan dia berkeliaran malam di Batavia pasti karena alasan yang jelas.

Dia pasti segera menuju suatu tempat pertolongan.

Kaki tidak berhenti melangkah sebelum dia bisa memastikan jika kawannya itu baik-baik saja. Sebenarnya, betis kakinya mulai pegal. Dia berputar-putar mencari Bajra bahkan hingga ke tempat yang mungkin dikunjunginya. Setelah menemui kawan dan kenalan yang ada di kota ini, perasaan putus asa mulai hinggap di benak Panca.

Mungkinkah anak itu diculik lagi?

Pandangan anak remaja itu bukan hanya tertuju ke arah bangunan-bangunan yang berdiri di sepanjang jalan. Dia pun memperhatikan para pedagang keliling yang kebetulan lewat di sana. Mereka menyapa, "Raden, sedang apa di sini?"

"Saya mencari kawan saya, namanya Bajra."

Ada orang yang memberikan jawaban, "tidak tahu."

Ada pula yang memberikan keterangan, "tadi sih lihat dia sedang berjalan kaki ke arah Pecinan."

Namun Panca pun sudah mendatangi kawasan tersebut, "saya sudah mencarinya ke sana. Tetapi, tidak ada."

Ada pula orang yang tidak acuh kala Panca mengajukan pertanyaan. Sebagaimana empat orang yang tengah duduk-duduk di dipan sambil menghirup madat, "ah, aku tidak peduli. Kau jangan menggangguku!"

Panca tahu akan memperoleh jawaban demikian. Tetapi, siapa tahu orang yang sedang mabuk itu bisa memberikan jawaban meskipun berupa sedikit petunjuk.

Panca berdiri tepat di depan sebuah bangunan yang temaram. Tidak ada lampu yang menerangi ruangan atau teras bangunan kecuali lentera kecil yang terletak di atas dipan. Belum jelas bagaimana rupa bangunan tersebut karena di sana begitu gelap. Sungguh aneh, kenapa orang-orang suka berkerumun dalam kegelapan.

Panca memperhatikan rumah madat tersebut dengan seksama. Empat orang yang sedang menghirup opium di selasar rumah madat itu sama-sama tidak menghiraukan omongan dari Panca. Mereka asyik dengan dunia mereka sendiri, tidak memperdulikan orang asing apalagi seorang anak remaja seperti Panca.

"Hei, pergi! Anak kecil tidak boleh ada di sini!"

Tetapi Panca bersikukuh ingin menggali petunjuk dari sarang orang-orang yang sedang ingin melupakan kondisi dunia. Mereka yang ada di sana memang sering terkesan tidak peduli urusan orang lain. Jangankan memikirkan hal yang di luar kuasanya, permasalahan hidupnya sendiri pun enggan untuk dipikirkan.

"Ayolah, Paman. Coba ingat-ingat lagi. Mungkin Paman melihat orang dengan perawakan pendek, gemuk ...."

"Pergi!" salah seorang diantara mereka membentak karena kesal.

"Paman, bagaimana kalau aku akan menukar ... sebuah petunjuk dengan sekeping uang?"

Orang yang diajak bicara terdiam. Kemudian mereka tertawa lepas.

Entah kenapa Panca merasa jika empat orang ini menyembunyikan sesuatu. Naluri anak remaja itu mengatakan sesuatu. Mereka masih bisa diajak bicara, berarti belum mabuk benar.

Kaki Panca seakan menempel dengan permukaan tanah, dia tidak ingin pergi ke mana-mana. Bahkan, berkali-kali pun para pemadat itu mengusir Panca maka dia hanya diam saja. Setelah gusar karena tidak memperoleh tanggapan yang diinginkan, pandangan anak lelaki itu tertuju ke arah pintu rumah madat yang terbuka. Di dalamnya, sedikit lebih terang jika dibandingkan dengan di luar. Penerangan di dalam sana cukup untuk memperhatikan seekor tikus yang berusaha masuk namun dia kembali pergi. Mungkin bau asap yang mengepul membuat si tikus tidak nyaman.

Kaki kiri Panca seakan mengajak dia untuk masuk ke dalam bangunan semi permanen yang terletak di pinggir jalan tersebut. Aku heran kenapa empat orang ini ada di luar, sedangkan di dalam sana ada apa? Begitulah isi pikiran Panca. Dalam pandangannya, tempat itu sungguh mengundang banyak kecurigaan.

Terdengar suara orang berteriak-teriak dari dalam bangunan, "hahaha, akhirnya aku bisa punya banyak uang! Mereka telah tertipu."

Selangkah, dua langkah, Panca mulai mendekati tiang atap yang menaungi beranda rumah madat. Tangan kirinya memegang tiang tadi, sedangkan matanya masih memperhatikan empat orang yang asyik memegang bedudan untuk menghirup opium.

Dia maju selangkah lagi, hampir mendekati kusen pintu. Dia mengintip ke dalam ruangan. Panca tidak bisa memastikan siapa orang yang ada di sana. Samar-samar, Panca bisa mengenali orang yang bicara paling keras. Sedangkan selebihnya hanya terdengar suara bergumam serta suara cekikikan dua atau tiga orang perempuan.

Namun, ada orang lain yang datang dari arah jalan raya.

Tentu saja Panca terkejut. Karena orang itu langsung saja masuk tanpa basa-basi. Lelaki yang baru datang itu pun tidak menghiraukan Panca karena berdiri membelakangi. Lagipula, kegelapan menyamarkan wajah Panca sehingga orang yang datang tidak tertarik dengan keberadaan si anak remaja berbaju pangsi. Mungkin saja dia pelanggan yang baru datang sehingga menganggap Panca sebagai anak kecil yang bertugas sebagai pesuruh di sana.

Orang itu langsung masuk ke dalam rumah madat tanpa tahu kenapa dia tampak terburu-buru. Panca ingin memastikan apa yang membawanya datang ke tempat tersebut.

Panca pun masuk dengan menyelinap. Tidak bersuara, tidak ada yang melarangnya melakukan hal demikian.

Tempat apa ini? Kok mau mereka berlama-lama di sini.

Panca berjalan dalam lorong sempit hingga dia sampai pada sebuah ruangan yang tak berpintu. Ruangan itu merupakan salah satu ruangan diantara sekian banyak ruangan sempit yang ada di sana. Hanya selat berbahan bambu menjadi pembatas antara satu ruangan dengan ruangan lainnya.

Siapa mereka?

Untuk tahu jawabannya, maka Panca memilih untuk mengintip dari celah-celah yang kebetulan terbentuk tidak sengaja. Celah-celah gedeg bambu biasa terbentuk karena si pembuatnya tidak bisa menjadikan sekat itu lebih rapat. Hal demikian mempermudah Panca untuk bisa memperhatikan wajah orang-orang yang kebetulan ada di dalam.

Ada lampu tempel yang menerangi ruangan. Keadaannya tidak jauh berbeda dengan empat orang di beranda. Mereka yang berada di dalam ruangan itu pun teler. Bicara mereka tak karuan, meracau.

"Ha, kau bicara apa?" seseorang berteriak kepada orang yang baru datang.

Orang yang ditanya malah berbisik, sepertinya dia belum teler. Masih sadar akan apa yang dia bicarakan.

"Bicara yang keras!" Tidak terlihat wajah orang yang bicara tetapi Panca mengenal suaranya.

"Maaf, Tuan Burhan. Anak itu tidak berhasil kami tangkap." Akhirnya si pelanggan yang baru tiba bicara lebih keras.

Orang yang diajak bicara terdiam.

"Dia masuk ke kantor Koran Batavia."

Orang yang duduk di atas kursi pun menoleh. Panca bisa mengenal wajahnya kala cahaya menerpa.

Panca pun terkesiap. Sudah aku duga, ternyata orang itu.

"Goblok!" seraya menampar orang yang berdiri di hadapannya. Pria berbaju putih marah besar.

Panca memilih untuk pergi. Apalagi, kelakuannya dipergoki oleh seorang perempuan yang membawa nampan. Hampir saja Panca bertabrakan dengannya di koridor.

"Maaf, Bi."

"Bibi, saya masih muda," wanita itu melengos tanpa menghiraukan kelakuan Panca.

------------
Keterangan:
Masa Hindia Belanda, mengonsumsi opium, madat atau candu merupakan tindakan legal. Bahkan, tersedia rumah madat yang dikhususkan bagi pelanggan yang ingin menikmatinya.

Panca dan Petaka Sumur TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang