51

26 6 0
                                    

Tangan Anna terlipat ketika dia duduk. Kemudian dia merentangkan tangan berbalut baju tidur di senderan kursi. Kedua kaki bergantian saling bertumpu. Begitulah, gerakan demikian berulang. Gadis itu merasa tidak nyaman apabila harus duduk saja tanpa bisa melakukan apa pun.

"Nona, saya sudah menyiapkan kamar tidur untuk Nona." Seorang gadis pelayan rumah tangga berjongkok di dekat meja sambil menyodorkan secangkir teh hangat.

Anna hanya mengangguk.

Si gadis pelayan menatap Anna beberapa saat sebelumnya akhirnya dia pergi. Sudut mata Anna masih bisa memperhatikan betapa gadis berkebaya itu ingin membicara banyak dengannya. Tetapi, Anna sedang tidak ingin banyak bicara.

Aku lelah dihujani banyak pertanyaan sejak tadi siang.

Teras rumah pun kembali sepi. Malam itu Anna hanya sendiri menunggu matanya mengantuk, tanpa ditemani Johanna sebagaimana malam sebelumnya. Anna merasakan kegundahan yang langka terjadi padanya. Sejak perisitiwa di sumur tua siang tadi, pikirannya belum juga bisa kembali tenang sebagaimana sedia kala.

"Kau sudah bertemu Johanna?"

Anna tidak menjawab pertanyaan ayahnya. Gadis itu malah menggelengkan kepala.

"Sebaiknya, kau segera menemuinya. Besok kita pulang."

"Aku malu bertemu dengan Johanna, Ayah."

"Ini bukan salahmu." Tuan Eijkman menghampiri anak gadisnya dari arah pilar setelah dia membuang puntung rokok. Lelaki itu duduk di kursi yang sama dengan anaknya.

"Tapi, aku yang membawanya ke sana," Anna bicara pelan, "padahal dia menolak."

"Justru kedua anak itu yang harus bertanggungjawab."

Anna setuju dengan pernyataan ayahnya.

"Tuan Johannes sangat marah." Tangan kiri Tuan Eijkman merangkul tubuh Anna.

Anna pun meletakkan kepala di pundak sang ayah. "Justru itu yang aku khawatirkan."

Suasana hening sejenak. Telinga Anna hanya mendengar suara jangkrik dari pekarangan. Sesekali suara kelelawar berdecit terdengar ketika berebut buah matang di pohon. Tercium bau singkong yang dibakar dari arah api unggun yang dibuat oleh petugas ronda. Ternyata, salah seorang diantara mereka ada yang datang menawarkan singkong bakar.

Anna tidak tertarik dengan singkong bakar atau kudapan yang tersedia di meja.

"Ayah, aku takut ... jika Tuan Johannes akan memperdaya Panca dan Bajra."

Tuan Eijkman terdiam.

"Anak itu benar-benar terlibat membantu Abimana. Bahkan bagi si Bajra, sosok Abimana dianggap sebagai pahlawan."

Tuan Eijkman menoleh ke wajah anaknya.

"Karena perkara itulah kami bertengkar. Aku pun jadi bingung, bagaimana aku harus bersikap?"

Lagi-lagi sang ayah tidak memberikan tanggapan.

"Satu sisi, Johanna adalah kawanku. Aku sedih jika dia celaka. Aku marah kepada Bajra. Tetapi, mereka ... kawanku." Anna menoleh kepada ayahnya. Sang ayah tidak menyadari tatapan Anna. Lelaki itu menatap lurus ke depan, ke arah kegelapan. "Ayah, Ayah mengerti kan bagaimana situasi yang aku hadapi?"

Wajah Tuan Eijkman tampak lebih serius dari sebelumnya.

"Ayah, apa yang Ayah pikirkan?"

Tuan Eijkman menoleh kepada Anna, dia tersenyum. Kembali merangkul tubuh anaknya.

Ketika bersama Anna, Tuan Eijkman memang tidak ingin banyak bicara perihal isi hati dan pikirannya. Dia berusaha menyembunyikan dari anak gadisnya. Anna tahu jika sang ayah memikirkan banyak hal. Terlebih, peristiwa pembakaran pabrik gula sudah membuatnya terpukul, ditambah lagi Johanna yang harus terluka.

"Apakah Tuan Johannes ... marah kepada Ayah?"

Tentu saja pertanyaan itu harus dijawab. Tetapi, lelaki itu memutar otak bagaimana cara menjelaskannya kepada sang anak.

"Pasti Tuan Johannes marah kepada Ayah karena kelakuanku. Aku memang mengecewakan banyak orang."

"Tidak. Kau tidak mengecewakan banyak orang."

Anna mengangkat kepalanya. "Andaikan aku tidak mengajak Johanna ke rumah tua itu ... mungkin semua ini tidak akan terjadi."

Ketika Anna bicara demikian, justru bukan ayahnya yang berkomentar. Ada si empunya rumah datang menghampiri.

"Andaikan Nona tidak membela si anak gempal itu, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Seharusnya anak itu mendekam di penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya karena menyusup ke rumah orang tanpa izin."

Kalimat yang terlontar dari mulut Tuan Johannes mempertegas situasi yang sedang dihadapi oleh Anna. Gadis itu semakin merasa bersalah karena tempo hari sempat memohon agar Bajra dibebaskan. Bahkan, waktu itu Anna berani bersikap tidak sopan kepada Tuan Johannes demi membela Bajra. Kini, pembelaan itu malah menjadi bumerang. Tuan Johannes berbalik menyalahkan Anna ketika Bajra mendorong Johanna hingga terjatuh ke dasar sumur.

"Bagaimana bisa aku meminta pertanggungjawaban darimu, Nona Anna?"

Anna enggan menatap wajah Tuan Johannes. Dia hanya berani mengangkat alis meskipun dengan wajah menunduk. Masih terlihat sepintas jika dahi lelaki berkumis pirang itu diperban. Luka akibat ditimpuk batu oleh para perusuh belum sembuh, darah merembes pada kain putih yang membalut kepala. 

Anna kembali tertunduk.

"Saya tidak tahu Johanna akan pulih kembali. Hal yang pasti, kemalangan yang menimpa keluarga kami datang bertubi-tubi."

Anna berusaha untuk membuka mulut, "saya ... minta maaf, Tuan."

"Johanna tidak akan sembuh jika kau meminta maaf hingga berkali-kali. Bahkan seribu kali kau meminta maaf, Johanna tidak akan kembali sebagaimana sedia kala."

Tuan Eijkman pun sama-sama terdiam. Anna merasa jika ayahnya sendiri tidak sanggup untuk membela. Padahal, gadis itu sangat berharap jika sang ayah menjadi juru bicara tatkala Tuan Johannes terus menyudutkannya.

"Tuan, sepertinya kita harus membicarakan kembali rencana kerja sama perusahaan kita." Tuan Johannes mulai mengutarakan maksud dirinya menghampiri ayah dan anak yang sedang berbincang.

"Tuan, bagaimana kalau kita membicarakan ini esok hari saja." Tuan Eijkman tersenyum, "sembari menunggu kolega kita yang lain."

"Maaf, Tuan. Sepertinya saya akan sulit tidur malam ini jika menundanya hingga besok."

Anna mulai mengerti arah pembicaraan dua lelaki dewasa di hadapannya. Ini pembicaraan bisnis, mungkin ayahku akan mengalami kesulitan karena peristiwa ini.

"Sebaiknya, saya ke kamar." Anna berpamitan sambil berdiri kemudian membungkukkan badan.

Kakinya melangkah menuju pintu utama. Tanpa kembali menoleh ke belakang.

Namun, dia sedikit penasaran apa yang dibicarakan oleh Tuan Eijkman dan Tuan Johannes. Kakinya berhenti melangkah, kemudian menoleh setelah melewati pintu yang masih terbuka lebar.

Celaka, ternyata Tuan Johannes marah besar kepada ayahku.




Panca dan Petaka Sumur TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang