29

32 8 0
                                    

Panca pernah berkunjung ke kantor Koran Batavia. Makanya, ketika Anna bertanya, "memangnya jika sudah malam begini, masih ada orang?" mudah saja bagi Panca untuk meyakinkannya.

Panca menarik sais pedati ketika sampai di depan halaman sebuah gedung. Dia menoleh kepada Anna, "tuh, jendela kantor masih terbuka."

"Tampak ramai," Anna bisa menerka ketika mendengar orang berbincang serta lampu kantor yang masih menyala.

Manakala mereka berdua hendak turun dari pedati, ternyata tidak serta-merta bisa melakukannya dengan mudah. Ada seorang lelaki berseragam biru dongker serta menenteng senapan mendekati pedati. "Kalian siapa?"

Bagi Anna, pertanyaan tanpa basa-basi seperti demikian bisa membuatnya marah. Tetapi, Panca memberi isyarat dengan memegang lengan gadis itu, "perkenalkan saya Panca, ini Nona Anna."

Orang itu menatap Anna lumayan lama. Dia heran dengan penampilan gadis itu.

"Saya sengaja datang jauh dari perkebunan Tuan Johannes." Anna langsung kepada maksud kedatangan ke tempat tersebut.

"Untuk apa?"

"Kami mencari kawan kami, Bajra." Panca menambahkan.

Petugas keamanan itu melengos. "Tidak ada. Kalian pergi saja."

Panca bisa mengerti kenapa lelaki itu enggan meladeni orang tidak berkepentingan lebih lama lagi. Memang bukanlah hal yang sopan bertamu kala malam. Lagipula, itu bukan tempat umum yang bisa dikunjungi oleh sembarang orang.

"Tuan, bisakah saya berbicara dengan orang-orang di dalam kantor?"

Lelaki petugas keamanan itu bersikukuh dengan sikapnya. Dia tetap tidak ingin meladeni Panca dan Anna.

Bagi Panca, perjalanan berkeliling kota kemudian berakhir di depan kantor Koran Batavia dirasa sebagai sebuah kegiatan yang sia-sia. Tubuhnya terasa begitu letih serta kehilangan semangat. Namun, Anna berusaha untuk memberinya semangat agar tidak menyerah untuk terus mencari Bajra.

"Entahlah, Nona. Kita sudah berkeliling hingga ke perkampungan warga. Tetapi, Bajra ...."

"Bajra memang belum ditemukan. Bukan berarti dia tidak akan ditemukan." Anna menyentuh pundak kawannya.

"Aku hanya ... merasa lelah." Panca bersandar di tiang pedati. "Kalau nanti orang tuanya bertanya, apa  jawaban yang harus aku sampaikan. Aduh, aku pusing!"

Anna tidak tahu harus mengatakan apa lagi kepada Panca. Begitupula Panca, tidak tahu harus berbuat apa lagi. Mereka berdua terdiam di sana dalam beberapa saat.

"Nona, kau tidak memberitahu ayahmu jika akan pulang larut malam?"

Anna tersenyum sambil menggelengkan kepala.

"Ahh, nanti aku bisa dimarahi Tuan Eijkman."

Anna malah tersenyum lagi.

"Kalaupun kita kembali ke rumah Tuan Johannes, kita akan sampai larut malam. Terus terang saja, aku tidak berani jika harus berjalan malam-malam di Batavia."

"Kenapa kau jadi penakut? Biasanya ...."

"Di Batavia, banyak perampok."

"Ah, paling juga, kawan-kawannya si Asih."

"Mending, desas-desus yang aku dengar, ada banyak kelompok perampok di kota ini. Aku pernah bercerita kan kepadamu, kalau aku pernah diculik oleh kelompok perampok."

"Ya, kau bersama Bajra dibawa ke hutan kan?"

Panca menganggukkan kepala.*

"Apakah kau khawatir jika Bajra kembali diculik?"

Panca dan Petaka Sumur TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang