"Andaikan kau bukan anak Raden Bakti, maka aku sudah mencincang tubuhmu," mata Si Penjaga mengisyaratkan ketidaksukaannya.
Panca hanya terdiam ketika mendapati penghuni rumah tua ternyata mengenal anak itu.
"Ah, sejak tadi aku curiga jika pedati yang terparkir memang miliknya," Si Pengawal pun menimpali.
"Aku rasa, kita tidak usah ragu untuk menghabisi nyawanya."
"Jangan, jangan. Urusannya bisa panjang." Si Pengawal meneguk air dari kendi. "Raden Bakti itu kepala desa di Desa Pujasari. Dia orang yang dekat dengan pejabat di Batavia."
Si Penjaga tersenyum kecut. "Ternyata, kau terkenal. Hanya aku yang tidak mengenalmu."
"Di Batavia, anak ini cukup terkenal. Seharusnya kau sering pergi ke kota agar tahu ...."
"Ah, bagaimana bisa. Aku ini buronan polisi. Untung saja Tuan Burhan mau mempekerjakan aku."
Si Pengawal tertawa. "Ah, aku lupa." Seraya melahap kembali nasi serta sekerat daging ayam di atas piring gerabah. "Hei, kenapa kau tidak mau makan?"
Panca hanya terdiam ketika ditanya demikian. Wajar saja karena orang itu hanya meledek. Mereka berdua memang sengaja menyantap daging ayam yang telah dimasak sejak sore tadi di depan tawanannya. Mungkin, agar tawanannya lebih merasakan betapa rasa lapar sangat menyiksa jiwa dan raga.
"Bagaimana dengan orang di sumur?"
"Tadi mereka tertidur. Mungkin sekarang mereka sudah mati." Si Pengawal kembali tertawa ketika menjawab pertanyaan kawannya.
Si Penjaga beranjak. Dia menggelengkan kepala, merasa pusing ketika harus memberikan keputusan. Matanya, menatap si tawanan yang teronggok di sudut dapur. Terikat dengan tali, lebih kuat dari sebelumnya. Tidak ingin terulang kembali kejadian tadi siang dimana tawanan nyaris melarikan diri.
"Akan aku periksa dua orang itu." Si Penjaga berjalan ke arah pintu belakang kemudian membukanya. "Semoga saja, mereka masih hidup."
Ketika pintu terbuka, keadaan masih gelap. Dia memang sengaja tidak menyalakan penerangan kecuali lentera di tangan.
Diantara suara serangga malam yang tengah bernyanyi, langkah kaki Si Penjaga tidak terdengar. Langkah kaki-kaki panjang terlihat gontai padahal dia cukup cepat menuju tempat tujuan. Andaikan ada perlombaan jalan cepat, mungkin orang itu akan menjadi juara.
Sebuah sumur tua menjadi tempat tujuan kakinya melangkah. Lentera di tangan menerangi keadaan sekitar. Benda itu pula yang dijadikan alat untuk bisa mengetahui apakah ada sesuatu yang mencurigakan atau ada binatang melata yang membahayakan.
Tapi, lentera itu pula yang membuat dia kaget dan marah besar.
"Goblok, siapa orang yang berani melakukan ini!"
Bagaimana tidak marah, tutup sumur tua di hadapannya kini terbuka.
"Di mana bocah itu?!" Si Penjaga bertanya pada lelaki yang tengah meringkuk di dasar sumur.
Orang yang ditanya hanya terkekeh.
"Di mana?!"
Tentu saja lelaki di dasar sumur itu enggan bicara serta memberi tahu ke mana "bocah" yang dimaksud.
"Sialan, dia kabur. Bagaimana bisa?!"
Si Penjaga meraih lentera dengan tangan kiri; sedangkan tangan kanannya mencabut golok serta mengacungkannya sebagai ungkapan kekesalan. Kaki kirinya melangkah menjauh dari bibir sumur, meninggalkannya dalam keadaan terbuka. Dia mendekati rumpun tebu yang mengelilingi nyaris seluruh kawasan rumah yang dijadikan tempat penahanan tersebut.
Lentera memang tidak akan cukup untuk bisa memastikan ke mana tawanannya yang kabur. Tetapi, dia tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Lelaki itu berjalan cepat ke berbagai arah.
"Ada apa?" Si Pengawal berteriak dari arah pintu belakang, "kau malah marah-marah."
Si Penjaga tidak langsung menjawab. Dia memilih untuk mengarahkan lentera ke atas pohon mangga yang tumbuh besar di sana.
"Ada musang?"
"Bukan!" Si Penjaga membentak kawannya, "bocah gendut itu kabur."
Si Pengawal bertanya dengan nada penuh keheranan, "bagaimana bisa?"
"Ah, aku pun tidak tahu. Padahal, sumur ini dalam."
Si Pengawal berjalan mendekat Si Penjaga. Kedua lelaki itu akhirnya sama-sama mencari "si bocah gendut" yang dimaksud.
Satu orang berjalan ke arah yang berlawanan. Mereka berpencar.
Si Penjaga tidak bisa menemukan jejak apa pun. Lelaki itu tersulut emosi sehingga tidak bisa berpikir jernih. Mencari seorang tawanan yang kabur sungguh menambah pekerjaan. Padahal, dia menginginkan pekerjaan lebih mudah. Apabila perlu, hari ini pekerjaannya selesai.
Namun, dia masih memiliki majikan yang menentukan keputusan. Bahkan, ketika harus memutuskan apakah para tawanan dilenyapkan atau dibiarkan hidup; dia harus meminta persetujuan. Dia semakin kesal ketika tahu bahwa majikannya itu akan marah bahkan memecatnya jika tahu ada masalah di sana.
Ketika tiba di deretan batang tebu, maka golok malah dijadikan sarana untuk melampiaskan kekesalan. Batang tebu ditebas tanpa berpikir jika hal demikian hanyalah perkara yang membuang energi.
"Hei, bocah tengik, di mana kau?!"
Ketika nafas terengah, sebenarnya bukan karena kelelahan. Dia tidak bisa mengatur nafasnya sendiri. Dia pun tidak bisa mengatur tenaga sehingga terbuang percuma.
Makanya, ketika mendapati sosok yang berkelebatan di ladang tebu, dia mulai kelelahan. Terpaksa untuk berhenti menebas batang tebu tanpa alasan yang tidak perlu.
"Hei, kau, di sana, berhenti!"
Si Penjaga berlari mengikuti sosok yang berkelebatan tadi. Mereka berkejaran walaupun lelaki itu tidak yakin sebenarnya siapa yang sedang dikejar.
Tanpa banyak berpikir, dia mengejar orang itu walaupun tahu batang-batang tebu sungguh menghalangi langkah.
"Akhhh, kau pikir kau bisa pergi jauh!"
Dalam cahaya temaram, bentuk dari sosok yang dikejarnya sudah cukup untuk memastikan jika dia memang "si bocah gendut" yang semula meringkuk di dasar sumur. Namun, Si Penjaga mulai ragu ketika siluet tubuh orang tersebut tidak sesuai dengan gambaran "si bocah gendut" sebagaimana yang dilihatnya ketika pertama kali dia menangkap serta melemparkan anak remaja itu ke dalam sumur.
"Siapa kau?"
Orang yang ditanya terdiam. Dia seakan sengaja ingin memperlihatkan diri. Berdiri di sebuah jalan setapak yang terbentuk karena menjadi sarana lalu-lalang pegawai perkebunan.
Tubuh orang ini tidak gemuk. Malahan, dia jauh lebih kurus.
Kesimpulan dari Si Penjaga tentu saja berdasarkan apa yang dia lihat. Ternyata, apa yang terlihat mengundang kebingungan.
Lantas siapa orang ini?
Orang yang dimaksud malah berdiri mematung. Jarak antara dia dengan Si Penjaga tidak lebih dari sepuluh langkah.
"Oh, kau menantang berduel denganku?"
Siluet itu tidak bicara. Dia malah memasang kuda-kuda. Benar-benar menantang berduel.
"Ah, jangan-jangan, kau ... yang membantu bocah itu kabur?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Petaka Sumur Tua
Misterio / Suspenso"Astaga!" Panca mundur selangkah. Bajra heran dengan sikap kawannya. "Ada apa?" Panca tidak langsung menjawab. Bajra mengerutkan kening. Keduanya sepakat untuk sama-sama menengok kembali ke dalam sumur. Memang agak gelap. Kedalaman sumur tersebut...