16

37 9 0
                                    

Asih masih bersikukuh jika dia tidak memiliki keterlibatan dengan Abimana. Sejak semalam, Burhan sudah mencerca gadis berwajah oval itu dengan begitu banyak pertanyaan.

Jawabannya sama, "aku tidak punya keterlibatan dengan orang itu!"

Panca yang duduk tepat di belakangnya, merasa pekak. Dia tidak bisa menutup telinga karena kedua tangannya terikat erat.

"Kau sendiri, Raden?"

Tentu saja Panca pun akan menjawab dengan jawaban yang sama, "apalagi saya, mengenal pun, tidak. Saya tidak pernah melihat orang di dalam sumur itu."

Ketika pagi menjelang, pertanyaan yang sama diajukan. Maka jawaban yang sama pun terlontar dari mulut keduanya.

Malam yang melelahkan telah dilalui. Asih sangat menginginkan istirahat yang menenangkan. Jika biasanya dia bisa tertidur pulas di atas ranjang kala pagi menjelang, maka kali ini si "gadis kelelawar" hanya bisa dihadapkan kepada situasi yang sulit. Asih tidak bisa bebas dari Burhan dan anak buahnya. 

Gadis itu mulai kesal dengan keadaan yang dihadapi. Dia terus berteriak-teriak sambil berharap ada orang yang bisa mendengar. Tentu saja, karena alasan demikian Burhan menutup mulutnya dengan sehelai kain.

"Aku akan menyerahkan kalian kepada Tuan Johannes."

Asih memelototi Burhan. Siapa dia?

"Pemilik rumah ini." Burhan menyeruput secangkir kopi dimana uapnya masih tampak mengepul ketika cahaya mentari menyinari dari celah jendela bergaya jelusi. "Kalian sudah masuk ke rumah orang tanpa izin."

Asih menggelengkan kepala.

"Aku pikir, alasan demikian sudah cukup bagi polisi untuk menjebloskan kalian ke penjara."

Burhan bisa saja memaksa Asih untuk berbicara sebagaimana yang diinginkannya. Hanya saja lelaki itu memilih untuk tidak menggunakan kekerasan ketika menghadapi dua anak remaja tersebut.

Bagi Asih, apakah dipaksa untuk mengaku atau disekap serta dibiarkan hidup, ya sama saja. Hal yang dipikirkannya hanyalah bagaimana agar dia bisa melarikan diri dari tempat terkutuk itu. Bagaimanapun caranya.

"Kau jangan berpikir untuk kabur," Burhan seakan bisa menerka isi pikiran Asih.

Asih hanya terdiam.

"Perhatikan temanmu, dia tampak tenang."

Dia berbeda, itu yang dipikirkan oleh Asih.

Gadis itu kembali mengingat kejadian tadi malam saat menyusup ke dalam rumah mewah di tengah perkebunan. Bisa celaka jika gadis yang pernah melihatnya buka suara. Dia sudah mengenal wajahku.

"Sejujurnya, aku mau saja melepaskan kalian. Tapi, tentu saja tidak gratis."

Kali ini Panca yang menoleh kepada Burhan. Lelaki berbaju putih itu tengah duduk di kursi dekat dengan mereka berdua yang terikat di lantai.

Seraya memeriksa jam saku di tangannya, Burhan menyampaikan sebuah rencana, "aku ingin bertukar sesuatu dengan polisi. Karena, aku yakin jika mereka sedang mencari orang-orang yang selama ini membakar ladang tebu."

Panca menggelengkan kepala. Isyarat jika dia tidak melakukan hal demikian.

Berbeda dengan Asih, dia malah tertegun.

"Sekarang, aku sudah menahan dua orang yang ... diduga membakar ladang tebu. Abimana, dalang dari kerusuhan itu. Dan, kau Asih, gadis pencuri yang sengaja melakukan hal sama."

Ketika mendengar apa yang dipikirkan oleh Burhan, maka Asih semakin merasa terjebak dalam situasi yang sulit. Apakah aku berada di tempat yang salah. Ingin sekali dia menyalahkan Panca dan Bajra karena kehadiran mereka berdua maka semua rencana yang telah disusun dalam pikirannya menjadi berantakan. Bisa dikatakan jika malam tadi sebagai salah satu malam paling sial dalam hidup Asih.

Andaikan waktu bisa diulang, maka lebih baik aku pergi ketika tahu ada dua anak ini di sini.

Tapi, waktu tidak bisa diputar kembali. Kini, Asih berada dalam genggaman Burhan. Tidak ada jalan pulang terkecuali dia nekat melawan Burhan dan anak buahnya.

Bola mata Asih tertuju kepada Burhan yang menikmati tembakau dalam cangklong. Asap mengepul dari mulutnya tatkala bersamaan dengan asap dari perapian yang dinyalakan oleh si Adun dan si Adin.

"Hei, mana sarapanku?!"

Seseorang menyahut dari arah dapur, "belum matang, Tuan."

"Eisss, kenapa kalian lambat sekali. Cepat! Aku harus segera menemui Tuan Johannes. Menyerahkan cecunguk ini kepada orang itu. Urusanku selesai, aku pun akan memperoleh banyak uang!" Burhan tertawa lepas.

Dasar manusia yang dibutakan dengan uang. Asih hanya bisa mengatakan kalimat itu dalam hatinya.

"Urusan pembakaran ladang tebu ini, sungguh menguras tenaga. Aku ingin urusan segera selesai."

Asih harus berusaha sebisa mungkin agar tidak dibawa ke rumah mewah di dekat pabrik. Urusan bisa pelik jika pemilik rumah mewah itu tahu kelakuannya tadi malam.

"Asih, aku khususkan kepadamu ... kutawarkan pilihan." Sekali lagi, Burhan berusaha untuk membujuk Asih agar bisa buka mulut. "Akui saja perbuatanmu. Maka aku akan melepaskanmu."

Bagi Asih, tawaran ini agak aneh. Walaupun sebenarnya sungguh menggiurkan.

"Nah, kau Panca. Aku akan mengantarkanmu kepada ayahmu."

Panca hanya menoleh kepada Burhan.

Sedangkan Asih, masih bersikukuh dengan pendiriannya, dia menggelengkan kepala.

"Ayolah, Asih. Kesabaranaku mulai habis. Akui saja perbuatanmu. Akui saja jika kau adalah anggota komplotan Abimana yang ingin memberontak!"

Asih memang tidak bisa mengatakan, "aku bukan bagian dari komplotan Abimana," karena mulutnya masih tertutup kain. Tetapi, ketika si gadis menggelengkan kepala menjadi sebuah isyarat yang memperjelas jika tuduhan dari Burhan tidaklah benar.

"Ah, apa sulitnya kau mengakui perbuatanmu!"

Burhan menggebrak meja makan yang terletak tepat di sisi kanannya. Cangkir logam yang terletak di sana terdengar bergetar.

"Dengarkan! Dengarkan aku, aku sudah berbaik hati kepadamu. Padahal, aku ingin sekali membunuhmu! Membunuh semua anggota keluarga Haji Masdar! Aku menyesal karena menyisakan kalian! Ternyata kalian masih membuat onar!"

Asih bisa merasakan kemarahan lelaki itu. Suaranya begitu menggelegar. Bagaimana tidak memekakkan telinga, jarak mulutnya dengan telinga Asih hanya sejengkal saja. Bahkan, bau mulut orang itu tercium ditambah air liur yang muncrat dari mulut mengenai pelipis dan pipi gadis itu.

Burhan menjauh dari wajah Asih. Bukan untuk meredakan kemarahan, tetapi tangan kanannya mengambil cangkir di meja.

"Bajingan! Kau menjadi penghalang langkahku! Dasar gadis tukang maling!"

Asih memilih untuk memejamkan mata tatkala air kopi yang masih panas menyiram wajahnya.

"Ha, menangislah! Dasar cengeng!"

Bagaimanapun, Asih tidak bisa menahan derai air mata. Dia takut jika Burhan akan membunuhnya. Karena teringat bagaimana lelaki itu pernah membantai anggota keluarganya dan warga desa Sugihmakmur, tanpa ampun.

Lelaki ini, sadis.

Panca dan Petaka Sumur TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang