Jika Burhan sudah marah besar maka semua anak buahnya tidak mau mendekat. Namun, hal demikian tidak bisa dihindari. Orang-orang yang sudah tahu bagaimana perangai buruk Burhan, bisa membayangkan jika lelaki itu mungkin saja tidak segan untuk menghabisi nyawa seseorang.
Begitupula yang diperhatikan oleh anak buahnya, Burhan marah-marah dan terus berteriak-teriak sepanjang jalan. Dia kesal karena orang suruhannya tidak bisa menyelesaikan tugas sekaligus kesal karena tidak bisa menikmati masa santai malam itu. Awalnya dia ingin menikmati upah hasil kerja kerasnya dengan menghibur diri di rumah madat, ternyata malam ini dia mendengar jika Bajra berhasil bersembunyi di kantor Koran Batavia.
Sesampainya di sana, Burhan langsung menghentikan laju kuda. Dia turun dari pelana. Tubuhnya masih sempoyongan, belum sadar benar.
"Hei kau anak tak tahu diri, keluar!"
Tentu saja kedatangan lelaki itu bersama puluhan anak buahnya mengundang petugas jaga kantor untuk sigap bertindak. Ada tiga orang yang langsung menghentikan langkah Burhan.
"Berhenti di sana atau kami akan menembak kalian!" seorang polisi berseragam biru dongker membentak.
"Jaga ucapanmu! Perhatikan, kami lebih unggul jumlah dibandingkan kalian bertiga!" Si Pengawal menjadi juru bicara yang baik.
Sedangkan Burhan hanya cukup menjadi orang yang berdiri di bawah lampu trotoar. Pikirannya masih belum bisa menata kata. Apa yang ada dalam kepalanya hanyalah bagaimana caranya merangsek masuk ke dalam kantor Koran Batavia. Tentu saja tanpa ada orang yang menghalangi.
Tiga orang petugas jaga kantor memang berani untuk mengancam dengan menodongkan senapan. Tetapi, mereka pun masih memiliki pikiran yang waras. Jika memaksakan diri maka puluhan pengacau itu akan menghabisi nyawa mereka. Mudah saja anak buah Burhan untuk melakukan hal demikian.
"Hahaha, ternyata kalian penakut." Burhan begitu senang ketika melihat seorang polisi berseragam dan dua centeng sewaan mundur perlahan ke arah beranda.
Kaki Burhan pun melangkah gontai ke arah pintu kantor. Semua penjaga bersiap di depan pintu untuk menghadang.
"Minggir!"
Sepertinya tiga orang penjaga tidak akan cukup untuk melawan puluhan pengacau. Bagi Burhan, mudah saja untuk menghabisi tiga penjaga kantor, tetapi dia enggan melakukannya.
"Hei, kau jangan merusak suasana hatiku yang sedang bahagia." Burhan bicara dengan suara keras serta ujung kalimat yang meninggi.
Tiga penjaga itu tidak ingin meladeni ocehan Burhan. Mereka hanya fokus dalam menyiapkan diri jika sewaktu-waktu anak buah Burhan melakukan serangan. Meskipun dalam keadaan terdesak, mereka tidak boleh memperlihatkan rasa takut.
Tetapi, Burhan dan anak buahnya bisa mencium ketakutan dalam diri tiga penjaga tersebut.
Keadaan demikian dimanfaatkan untuk segera memulai perkelahian. Tidak ada gunanya jika terus menunda-nunda, bagi Burhan hal demikian hanya akan membuang-buang waktu saja.
Perkelahian pun tidak terhindarkan.
Burhan hanya memberi sedikit saja isyarat sebagai perintah untuk meringkus tiga petugas jaga kantor Koran Batavia.
Dor!
Tiga penjaga itu bukannya tidak melakukan perlawanan, mereka sudah siap dengan sepucuk senapan. Sebutir peluru pun dimuntahkan walaupun tidak mengenai sasaran. Peluru hanya melambung ke langit dan entah akan mendarat di mana.
Tiga orang petugas jaga itu sungguh menjadi orang yang tak berdaya. Percuma saja mereka melakukan perlawanan. Satu diantara orang itu lumpuh hanya dalam satu serangan. Kepalanya terbentur pintu hingga dia tidak sadarkan diri. Sedangkan dua temannya mencoba untuk melarikan diri tetapi percuma saja. Anak buah Burhan berhasil menangkap kemudian melukai tubuh mereka hingga tak sadarkan diri.
Darah pun mengalir membasahi pelataran gedung.
***
Sementara itu, di dalam kantor Koran Batavia, anak remaja itu bisa mendengar dengan jelas suara letupan. Meskipun hanya sekali saja namun sudah memperjelas jika keadaan di luar gedung tidak sedang baik-baik saja.
"Mereka ... mungkin kalah, Paman." Bajra mengkhawatirkan tiga petugas jaga di luar gedung.
"Mungkin saja," Abimana mengajak Bajra untuk keluar dari kamar, "aku sendiri tidak yakin jika mereka bisa menghadapi anak buah Burhan."
Langkah kaki Bajra menapaki tangga mengikuti Abimana. Mereka berdua berusaha mencari cara untuk menghindari amukan anak buah Burhan.
Abimana meraba-raba dinding karena tidak ada cahaya yang menerangi. Berjalan ke arah sisi bangunan paling belakang di lantai dasar. Mereka berdua melangkah dengan cepat hingga bisa menggapai sebuah pintu.
Pintu berukuran lebih besar jika dibandingkan dengan pintu lainnya yang ada di sana. Dibuat dari bahan kayu jati nan kokoh, pintu tersebut sengaja dipasang dengan engsel berukuran besar serta ditopang oleh gerendel besi sebesar ibu jari. Seorang manusia mustahil bisa membukanya dari dalam. Terkecuali seekor gajah disuruh untuk mendobrak pintu tadi.
Brakk!
Sepertinya para pengepung itu berusaha keras mendobrak pintu. Entah benda apa yang dijadikan alat untuk merusak pintu. Hanya saja, suaranya terdengar begitu keras.
"Mereka bisa saja masuk ke sini, Paman."
"Ah, kalau begitu kita tidak bisa keluar lewat pintu ini."
Sejenak, mereka terdiam.
"Lantas, kita harus bagaimana, Paman?"
"Kita sembunyi saja," Abimana meraih tangan Bajra kemudian mengajak melangkah untuk terhindar dari kemungkinan terburuk.
Lelaki itu mengajak Bajra masuk ke dalam sebuah ruangan. Anak remaja itu belum tahu fungsi dari ruangan tersebut, tidak ada cahaya yang menerangi. Lentera yang tersedia di dinding tidak dinyalakan. Hanya cahaya temaram di ambang pintu menandakan jika lampu di ruangan sebelahnya masih menyala.
Bajra kebingungan ketika dilanda kepanikan apalagi ketika Abimana mengajaknya bersembunyi dalam ruangan yang gelap. Adakalanya, seekor tikus melintas di depan wajah, tetapi anak remaja itu tidak menyadarinya. Bajra baru tahu ketika suara tikus berdecit, "akhh!" dia pun reflek berteriak.
"Sstt, jangan berteriak."
"Maaf, ada tikus," Bajra bicara pelan.
Sejenak, tidak terdengar lagi suara orang berteriak atau pintu didobrak. Apakah ini pertanda baik, Bajra tidak tahu. Hal yang dia pikirkan, betapa Burhan akan marah besar andaikan menemukan tempat persembunyian Bajra dan Abimana. Apalagi, anak buah Burhan jauh lebih banyak dibandingkan dengan terakhir kali terlihat.
"Kita harus bagaimana, Paman?"
"Untuk sementara, kita bersembunyi di sini."
Inilah hal yang sebelumnya ditakutkan oleh Bajra. Ketika tadi siang dia berbuat salah kepada Johanna, maka Burhan sebagai orang kepercayaan Tuan Johannes tidak akan tinggal diam. Burhan pasti disuruh untuk menangkap anak remaja itu kemudian menyekapnya di dasar sumur tua. Bahkan, terpikir olehnya sesuatu yang lebih buruk lagi.
Bajra bisa saja dibunuh, kemudian jasadnya dibuang ke laut. Burhan bisa saja melakukan hal tersebut.
Terdengar suara pintu yang didobrak dari arah ruangan depan. Kemungkinan besar jika pengepung berusaha masuk melalui pintu utama. Hanya saja, Abimana dan Bajra tidak punya cara untuk menyelamatkan diri. Andaikan pengepung masuk ke dalam gedung maka ada dua hal yang mungkin terjadi.
"Kita harus bagaimana, Paman?"
Abimana terdiam sejenak kemudian bicara pelan, "menyerah ... atau melawan mereka ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Petaka Sumur Tua
Mystery / Thriller"Astaga!" Panca mundur selangkah. Bajra heran dengan sikap kawannya. "Ada apa?" Panca tidak langsung menjawab. Bajra mengerutkan kening. Keduanya sepakat untuk sama-sama menengok kembali ke dalam sumur. Memang agak gelap. Kedalaman sumur tersebut...