34

32 10 0
                                    

Panca masih bingung ketika Anna segera mengajaknya keluar dari gedung kantor Koran Batavia. Kedua anak remaja itu berjalan cepat meninggalkan orang-orang yang seharusnya diajak bicara lebih lama lagi. Namun, pertemuan diantara mereka berlangsung singkat saja karena satu alasan.

"Nona, katakan padaku ... ada apa? Apa yang dikatakan oleh Burhan?"

Anna tampak kalut. Dia tidak bisa menyembunyikan ketakutannya di depan Panca.

"Aduh, kalau kau tidak berterus terang kepadaku, bagaimana bisa aku ...."

"Aku pikir, Bajra dalam bahaya." Anna berhenti melangkah. Dia menghela nafas berkali-kali dalam tempo cepat. Bukan terengah-engah karena kelelahan, tetapi degup jantung gadis itu membuat tubuhnya tidak stabil.

"Bahaya?"

"Burhan ... mengancam akan memperlakukan si Bajra seperti si Asih. Bahkan, lebih sadis dari itu."

Panca mulai mengerti ketakutan yang terpancar dari wajah Anna. 

"Aku ingat ... bagaimana Burhan memperlakukan Asih."

"Aku pun tahu jika lelaki itu tidak layak disebut manusia."

Anna tampak limpung. Tangan kirinya memegang tiang lampu penerangan jalan. Panca yang berdiri di depannya pun tidak tahu harus berbuat apa. Mereka berdua menjadi orang-orang bingung ketika memikirkan ancaman yang tidak bisa diabaikan.

Anna teringat kembali kejadian di pabrik penggilingan. Dia baru pertama kali melihat seorang manusia sadis seperti Burhan. Andaikan dia tidak mencegah Burhan untuk berlaku lebih kasar, mungkin nyawa Asih sudah tidak tertolong.

Panca tahu apa yang dipikirkan oleh kawannya. "Kau jangan memikirkan kejadian itu."

Karena membayangkan hal tersebut, ketakutan Anna menjadi berkali-kali lipat. "Mana bisa aku melupakannya."

Panca bisa melihat jelas betapa wajah Anna semakin pucat. Cahaya lampu menerpa kulit terang yang dimiliki oleh Anna. Aku belum pernah melihat dia seperti ini.

"Bagaimana kalau kita ke penginapan keluarga A Ling. Kau harus istirahat."

"Ha, istirahat? Ketika Bajra sedang dalam bahaya kau berpikir untuk istirahat?"

"Nona, kita tanyakan dahulu ... siapa tahu A Ling pernah melihatnya."

"Tetapi, aku merasa jika Bajra sudah tertangkap oleh Burhan. Dia ...."

"Itu kan hanya omongannya. Kita pun harus memastikan jika Bajra tidak ada di kedai A Ling."

Anna memejamkan mata.

"Kau masih kuat berjalan?"

Anna mengangguk. Bibirnya mengatup.

"Aku mencari minuman terlebih dahulu. Kau butuh minum." Panca berjalan ke seberang jalan.

Anna hanya perlu menunggu di bawah lampu jalan. Dia bisa melihat kawannya berlari dalam remang cahaya lampu jalan. Panca terlihat membeli sesuatu dari pedagang yang kebetulan melewati jalan raya.

Ketika Panca kembali serta membagikan minuman hangat, Anna bisa berdiri dengan tegak. Gadis itu lebih bertenaga dibandingkan sebelumnya. Wajah pucat Anna berangsur reda.

"Kau bisa berjalan? Atau, aku akan panggilkan sado untuk mengantar kita."

"Tidak usah." Anna menggelengkan kepala. "Sebaiknya kita berjalan kaki ke sana. Siapa tahu kita bertemu Bajra di jalan."

Panca dan Petaka Sumur TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang