60

35 5 0
                                    

Malam itu Anna hanya bisa menatap bintang-bintang melalui bingkai jendela. Gadis itu menunggu esok hari untuk kembali pulang. Namun, kali ini dia merasa jika menunggu hari esok begitu lama. Andaikan hari belum gelap maka dia akan segera meninggalkan kediaman Tuan Johanes, keluarga ini menginginkan aku segera menjauh dari rumah ini.

Dia pun tertarik untuk kembali memperhatikan rumah tua, tidak ada lagi penghalang sehingga bisa melihat siluet bangunan yang berlatar langit malam. Berdiri diantara pepohonan yang mengapit. Hanya atap bangunan saja menjadi penanda jika di sana berdiri sebuah rumah.

Anna teringat kembali kejadian tadi siang. Kejadian ketika Bajra mendorong Johanna hingga terjerumus ke dalam sumur tua. Sebuah peristiwa yang membuat Johanna terbaring lemah di kamar tidurnya. Sejak siang tadi, Anna tidak berani untuk menengok keadaan kawannya itu. Selain diliputi rasa bersalah, dia pun tidak ingin jika melihat Tuan Johannes marah atau malah membencinya.

Sikap Anna ini ternyata mendapat perhatian dari seorang petugas ronda malam. Seorang lelaki berbaju pangsi dengan ikat kepala motif batik. Dia mendekati Anna hingga hanya berjarak tidak kurang dari dua langkah ke dinding bangunan. "Nona, maaf, sebaiknya Nona menutup jendela kamar."

"Saya belum mengantuk, Paman. Saya masih ingin menikmati pemandangan malam ini." Anna berusaha menyembunyikan alasan sebenarnya kenapa dia tidak kunjung memejamkan mata.

Lelaki itu menoleh ke belakang seraya mendongak ke langit. "Malam ini memang indah. Penuh bintang di langit. Tetapi ...."

"Paman tidak usah khawatir. Saya bisa menjaga diri."

"Bagaimana saya tidak khawatir, Nona. Keadaan di sini sedang tidak baik-baik saja, Nona."

Anna mengerti jika perkebunan tebu milik Tuan Johannes masih dalam keadaan genting. Kemarin siang telah terjadi kerusuhan serta kebakaran di pabrik sehingga meluluhlantahkan sendi kehidupan di sana. Gadis bergaun putih itu melihat sendiri bagaimana keadaan menjadi lebih menyedihkan jika dibandingkan pertama kali dia tiba di sana.

Anna memandang wajah lelaki bertubuh kurus di depannya. Tampaknya dia hanya warga biasa yang diberi tugas untuk ronda malam. Polisi perkebunan dan centeng sewaan tidak sanggup menahan amarah para perusuh sehingga membutuhkan tenaga keamanan tambahan. Pandangan Anna pun teralihkan kepada tiga orang lelaki yang berjalan mendekat sambil menenteng lampu minyak.

Terjadi percakapan diantara mereka bertiga. Anna tidak terlalu mengerti obrolan mereka karena menggunakan Bahasa Sunda. Dia hanya bisa menerka samar-samar jika mereka berempat membicarakan tentang orang yang mencurigakan.

"Ada apa, Paman?" Anna berusaha menelisik.

"Ah, hanya anjing liar, Nona."

"Oh, saya pikir sesuatu yang membahayakan."

"Memang bukan sesuatu yang membahayakan, Nona. Masih untung jika yang datang hanya seekor anjing, bagaimana jika yang datang ... seorang pencuri?"

Deg, jantung Anna berdegup lebih kencang. Ketika mendengar kata "pencuri" maka dia teringat pada seseorang yang baru dikenalnya. Seorang gadis yang berani menyusup ke dalam kamar. Kamar yang sama tempat kini Anna berdiri.

Asih. Sekarang di mana dia?

Anna teringat kepada Asih. Bukan hanya tentang sosoknya serta persahabatan dia dengan Panca dan Bajra. Tetapi, terpikir sesuatu yang janggal, setidaknya menurut pikirannya.

Asih, datang ke rumah ini, aku rasa dia tidak berniat mencuri? Apakah dia datang untuk ... mencari seseorang yang ada di sini?

Para lelaki petugas ronda itu tampaknya membaca raut wajah Anna yang menyimpan banyak tanya. "Ada apa, Nona?"

Panca dan Petaka Sumur TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang