44

36 7 0
                                    

Asih menjadi orang yang selalu terperangkap dalam situasi yang tidak bisa dihindarinya. Gadis itu berusaha untuk menghindari konflik dengan siapa pun, namun dia tidak bisa memungkiri. Ketika dia berdiam diri di rumah dan tak melakukan apa-apa selain tiduran, maka ada saja orang yang mencarinya. Orang yang datang ke rumah Asih di Desa Sugihmakmur, bukan sekedar berkunjung tetapi senantiasa menawarinya sebuah kesempatan.

Kesempatan bagi gadis itu untuk membalaskan dendamnya. Dendam yang sulit terbalaskan.

Pernah dirinya berdamai dengan keadaan, menerima nestapa yang melanda keluarganya. Waktu itu dia masih memiliki seorang ibu yang membutuhkan perawatan karena masalah kejiwaan. Asih memilih untuk mengurus sang ibu, satu-satunya orang yang masih dianggapnya sebagai keluarga. Namun, kini ibunya itu telah tiada ketika peluru tajam milik serdadu pengawal menghujam tubuh. Padahal, kala itu dia berada di tempat yang dianggap paling aman bagi penderita gangguan jiwa.*

Aku merasa terpaksa ketika melakukan ini, tetapi bagiku tidak ada lagi pilihan.

Kini, gadis itu berdiri tepat di atas cerobong asap pabrik penggilingan tebu. Bangunan yang tinggi tetapi begitu mudah saja baginya untuk dinaiki. Dia dimudahkan dengan titian yang dipasang di badan cerobong. Andaikan titian itu pun tidak ada, dia bisa naik ke puncak cerobong dengan menggunakan tali.

Jika pintu pabrik terbuka, mungkin aku tidak perlu melakukan ini semua.

Hari sudah siang, tetapi pabrik milik keluarga Johannes itu masih tutup. Sudah beberapa hari belakangan, pegawainya mogok kerja. Begitupula hari ini, tidak tampak orang berkegiatan di dalam pabrik. Justru, mereka tengah berkumpul di rumah sang pemilik pabrik yang berjarak puluhan meter dari tempat Asih berada.

Aku harus segera menyelesaikan pekerjaan ini sebelum mereka melihatku.

Mudah saja bagi seorang gadis bertubuh mungil itu untuk melompat dari atas cerobong asap. Dengan tali berpengait, dia bisa sampai di permukaan cerobong dalam waktu hitungan detik. Entah sebuah kesengajaan atau kecerobohan si pemilik pabrik, cerobong asap tersebut tidak memiliki pintu atau apa pun yang bisa menghalangi orang atau hewan masuk ke dalamnya.

Oh, ternyata pintunya sebelah sini.

Pintu hanya dipasang pada tungku pembakaran, itupun tidak dikunci. Mudah saja bagi Asih untuk masuk ke dalam pabrik tanpa ada yang mengetahui. Dia berjalan beberapa langkah hingga menemukan tumpukan ampas serat tebu yang mulai mengering.

Tidak ada kegiatan apa pun di pabrik. Asih bisa memperkirakan jika proses penggilingan dan pembuatan gula terhenti sementara karena warga dan kuli pabrik sedang berunjuk rasa. Sebuah kegiatan yang tanggung.

Ini menjadi kesempatan bagus baginya untuk segera menjalankan tugas yang diembankan kepadanya. Gadis berpenutup wajah itu merogoh saku kemudian menyalakan pemantik.

Sejenak, dia membuka kain yang menutup wajahnya. Ingin menghirup bau harum ampas tebu. Aku suka aromanya. Sebelum benda itu menjadi abu serta berubah wujud, selagi sempat maka dia menikmati momen menarik yang sayang jika dilewatkan.

Blrrr.

Hanya membutuhkan waktu sebentar saja agar api menyala kemudian membesar.

Dia menoleh ke arah jendela, pintu serta setiap sudut pabrik sambil berharap tidak ada orang yang mengamati kelakuannya. Ketika asap mengepul serta keluar melalui lubang-lubang yang tersedia di dinding maka kemungkinan besar warga akan berdatangan.

Agar menghemat waktu, Asih sudah menyediakan obor untuk dinyalakan. Setidaknya ada lima obor berukuran pendek yang bisa digunakan.

Sambil berlari, Asih melemparkan obor itu pada tumpukan tebu, karung goni bahkan mesin yang mati.

Ketika sampai di depan tungku, dia menoleh ke belakang. Api pun berkobar cukup cepat seakan memperoleh makanan yang sesuai dengan selera.

---------
*) Kisah kematian ibunya Asih bisa dibaca di seri Panca dan Amarah Sophia.

Panca dan Petaka Sumur TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang