24

41 9 0
                                    

Panca berjalan pelan di belakang seekor kuda. Tangannya diikat seutas tali. Tidak ada cara untuk melarikan diri karena anak itu tidak berhasil membuka ikatan.

"Hei, jika kau terlihat berusaha membuat tali itu maka aku akan menyeretmu!" Si Penjaga bicara keras dari atas pelana.

Sedangkan kawannya, Si Pengawal hanya tersenyum mendengar ancaman yang terlontar dari mulut Si Penjaga.

Panca digiring selayaknya tahanan polisi yang ketahuan mencuri. Hanya saja, kali ini dia tidak akan digiring ke rumah tahanan. Panca dibawa menuju rumah Tuan Johannes. Anak remaja itu tahu akan ke manakah kedua anak buah Burhan itu membawanya setelah ada seseorang yang datang ke rumah tua. Orang itu utusan dari Burhan, memberi pesan agar membawa si tawanan ke rumah mewah dekat pabrik penggilingan tebu.

Sepanjang jalan, Panca hanya bisa berpikir apalagi yang akan dilakukan oleh Burhan, adakah kemungkinan dia dibebaskan atau malah sebaliknya, Burhan akan menyerahkan Panca ke polisi. Dia pun memikirkan bagaimana nasib Bajra dan nasib Asih. Walaupun, sebenarnya dia pesimis jika keduanya dalam keadaan baik-baik saja.

Paman Abimana pun disekap hingga keadaannya begitu menyedihkan, bagaimana dengan mereka berdua?

Pertanyaan dalam batin Panca itu bisa terjawab tatkala dia telah sampai di rumah si pemilik perkebunan.

Awalnya, Panca hanya tertunduk lesu. Namun, dia agak sumringah ketika mendengar seseorang memanggil. Suara orang yang memanggil memang bukan Asih atau Bajra. Tetapi, suara seorang gadis yang sangat dikenalnya.

"Panca!" suara itu terdengar sebagai sebuah sambutan bagi Panca yang tengah tak bergairah.

"Nona ... Anna?" Panca heran karena orang yang menyambutnya ada di rumah pemilik perkebunan tebu. Kenapa dia ada di sini?

Gadis itu berlari mendekati Panca.

"Nona, bagaimana kau ...?"

Anna tidak banyak bicara. Gadis berambut dikepang itu langsung memeluk Panca. Kemudian menangis.

"Kau, oh, kau sungguh ...," Anna berusaha membuka ikatan pada tangan Panca.

"Nona, jangan dibuka!" Si Pengawal memelototi Anna.

Namun, ada seseorang yang memberi dia perintah, "biarkan saja."

Panca mulai tahu jika Burhan bermaksud melepaskannya tatkala memberi isyarat agar membiarkan Anna membuka simpul. Kemungkinan Anna yang meminta agar Panca dilepaskan. Dia pun melihat Asih ada di sana bersama Burhan, masih dalam keadaan terikat.

"Terima kasih, Nona."

Anna mengangguk. "Asih sudah bercerita kepadaku. Aku sudah punya firasat jika kau dan Bajra ada di rumah tua itu. Aku melihat pedati milikmu terparkir di pinggir jalan." Anna menatap Panca, "ternyata, kau disekap."

Panca mengibaskan tangannya. Dia merasa kebas karena sudah terlalu lama diikat serta tidak bisa menggerakkan tangan.

"Tetapi, sekarang aku tidak tahu ke mana Bajra pergi."

Panca hanya mendengarkan cerita dari Anna. Dia hanya mengikuti langkah Anna apalagi tangan kanannya dituntun oleh Anna mendekati Asih.

"Bagaimana, Nona. Kau puas?" Burhan bertanya dengan ketus.

Panca merasa jika Burhan marah kepada Anna. Begitupula dengan pria paruh baya yang berdiri di sana.

"Tuan Johannes, terima kasih karena telah mengabulkan permintaan saya."

Panca akhirnya tahu wajah Tuan Johannes. Sedangkan gadis di sampingnya, pasti ini anaknya. Kini, Panca tahu siapa pemilik rumah tua tempatnya disekap. Dia pun tahu pemilik perkebunan serta pabrik gula yang sering dilihatnya kala menempuh perjalanan ke Batavia.

Panca dan Petaka Sumur TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang