Bajra tidak tahu jika air kanal di Batavia tidak sejernih sungai di pinggir Desa Pujasari, kampung halamannya. Mata, telinga serta hidung yang ditutup membuat anak itu tidak bisa memperkirakan bagaimana keadaannya. Tetapi, kulitnya bisa merasakan betapa air lumpur di kanal begitu lengket.
Manakala tubuhnya terbenam ke dasar kanal, ternyata sulit sekali dia bisa terbebas. Bajra tidak memperkirakan sebelumnya jika dia bakal kesulitan bergerak apabila terbenam dalam lumpur.
Ah, ternyata perkiraan aku salah.
Walaupun Bajra salah perkiraan dalam urusan lumpur, keinginannya untuk melarikan dari Burhan masih besar. Menceburkan diri ke dalam air kanal merupakan sebuah keputusan berani yang layak diapresiasi, setidaknya oleh dirinya sendiri. Kali ini dia bangga karena menjadi anak yang pemberani serta berhenti merengek-rengek untuk meminta tolong.
Setidaknya, aku sudah mencoba.
Tubuh gempal Bajra terus bergerak-gerak sambil berharap ada kemudahan tatkala kesulitan menerpa.
Dan, tanpa diduga pertolongan tiba.
Seseorang, entah siapa, mengulurkan tangan untuk membantu anak remaja itu naik ke permukaan. Gerakan orang itu sangat cepat, hingga Bajra pun sudah bisa menghirup udara meskipun wajahnya dipenuhi lumpur. Tali yang mengikat tubuh serta kain yang menutup wajah kini terlepas sudah, tak ada lagi penghalang bagi pandangan, pendengaran maupun penciuman.
"Terima kasih."
Orang yang menyelamatkan Bajra tidak bicara sepatah kata pun, tidak menanggapi ucapan terima kasih dari orang yang ditolongnya. Bahkan, wajahnya tidak bisa dilihat karena membelakangi cahaya. Lampu penerangan jalan yang terpasang di pinggir kanal memang bisa menjadi penanda bagi warga agar tidak terperosok ke dasar kanal. Tetapi, cahaya lampu belum bisa menerangi permukaan kanal yang lebar. Karena alasan demikian, Bajra pun hanya bisa melihat siluet orang yang menolongnya.
Tubuh gempal anak itu diangkat ke atas sebuah sampan yang dilengkapi dengan atap berbahan daun alang-alang. Beberapa detik, cahaya menerpa hingga menyentuh wajahnya. Bajra heran karena orang itu menutup wajah dengan sehelai kain. Tidak jelas bagaimana rupa si penolong ditambah caping yang dikenakan semakin menyamarkan ciri orang tersebut.
"Hei, jangan kabur!"
Kalimat yang terdengar membentak ternyata mengganggu konsentrasi Bajra untuk bisa meneliti ciri orang yang menolongnya.
"Aku harus bagaimana?" Bajra kebingungan.
Orang yang ditanya tidak menjawab. Dia malah memegang kepala Bajra kemudian mendorongnya agar merunduk.
Dari sisi kanal, datang sebuah sampan yang lebih kecil dimana anak itu tahu siapa orang yang berdiri di atasnya. Aduh, mereka datang.
Bajra bisa memastikan jika yang datang adalah Burhan karena bajunya tampak lebih terang dibandingkan dua orang di belakangnya. Selanjutnya, Bajra tidak melihat dengan jelas apa yang terjadi. Dia memilih untuk merunduk serta tidak melihat bagaimana sebuah perkelahian terjadi.
Aku harus melakukan sesuatu.
Dalam urusan perkelahian, Bajra bukan ahlinya. Dia malah ketakutan ketika sudut matanya melihat kilatan golok yang diterpa cahaya lampu jalan. Dia pun menutup kedua telinga dengan tangan karena enggan mendengar suara senjata beradu di udara. Bahkan, dia pun tidak mau tahu ketika ada sebilah golok yang merobek atap sampan.
"Arghh!" hanya berteriak yang bisa dia lakukan.
Bahkan, ketika ada tangan yang memegang bajunya, Bajra tidak tahu harus berbuat apa. Dia terlalu takut untuk menatap orang yang berusaha meraih tubuhnya.
Tetapi, pantulan cahaya di permukaan air telah memberinya inspirasi untuk melakukan sesuatu.
Byurr! Bajra menceburkan diri ke air kanal.
"Hei, dasar bocah nakal!"
Anak itu tidak pandai berenang, tetapi ketakutan bisa mendorongnya untuk menjauh dari arena perkelahian. Bajra berlari di dalam air. Kedua kakinya masih bisa menyentuh dasar kanal, maka dari itu kemampuan berenang tidak terlalu dibutuhkan untuk segera menghindari bahaya.
Semakin jauh, suara dentingan logam beradu tidak terdengar lagi. Tetapi, Bajra pun tidak mungkin berlari di jalanan yang terbuka. Jika demikian, terlalu mudah bagi Burhan untuk menangkapnya.
Aku harus bersembunyi.
***
Bajra tidak sempat berkenalan dengan orang yang menolongnya. Apakah sebuah kebetulan atau bukan, hal terpenting dia tiba pada saat yang tepat. Tetapi, aku pun ingin tahu bagaimana keadaannya, apakah dia terluka?
Hal demikianlah yang dipikirkan oleh Bajra ketika sudah bisa bersembunyi. Anak itu dapat sedikit lega karena menjauh dari Burhan dan dua anak buahnya. Sekaligus, dia pun memperoleh ketidaknyamanan lain karena harus menghirup bau tidak sedap. Gorong-gorong yang dijadikan tempat untuk bersembunyi sungguh tempat paling menjijikan yang pernah ditemuinya.
Bajra lupa jika saluran pembuangan pun tempat bersarangnya tikus got yang bisa saja mengganggunya.
Bajra bisa melihat sebuah lentera bergoyang-goyang ketika dibawa oleh seseorang. Lentera itu ditujukan ke berbagai ke arah, bisa diterka jika lentera tersebut milik Burhan dan anak buahnya.
"Bang, mencari apa?" terdengar seorang pengayuh sampan bertanya kepada si pemilik lentera.
"Ah, mencari anak hilang!"
Perbincangan diantara mereka seakan saling teriak-meneriaki. Menjadi kebiasaan diantara pengayuh sampan jika saling sapa pun berteriak karena jarak diantara mereka saling berjauhan. Apalagi perbincangan yang menyangkut perkara penting seperti mencari "anak hilang", mereka terlibat perbincangan serius. Bahkan, beberapa pengayuh sampan memperlambat laju kendaraannya. Bajra bisa memastikan dari cahaya lentera yang kerlap-kerlip seperti sekawanan kunang-kunang di kegelapan. Cahayanya yang melaju di permukaan air pun ikut melambat.
Namun, ketika suara mereka terdengar justru membuat hati Bajra berdebar semakin kencang. Bagaimana tidak, hal demikian menjadi penanda jika Burhan dan anak buahnya berada tidak jauh dari tempat Bajra bersembunyi.
Apakah aku harus pergi menjauh atau tetap berada di sini?
Bajra dihadapkan pada dua pilihan. Andaikan dia pergi keluar dari gorong-gorong nan gelap maka mempermudah Burhan untuk melihatnya. Namun, berada di sana untuk waktu yang lebih lama pun bukan perkara mudah.
Aduh, bagaimana kalau ada ular atau biawak di sini.
Ketakutan bertambah dari imajinasi dalam pikirannya, meskipun belum terjadi. Pengetahuan anak itu yang luas malah membuat otaknya merekayasa berbagai kemungkinan.
Jangan, jangan, jangan berpikir hal-hal jelek.
Bajra memejamkan mata. Kedua telapak tangannya menutup telinga. Berharap pikiran jelek itu pergi sambil terus menggeleng-gelengkan kepala agar bayangan negatif dalam otaknya buyar.
Bajra terus komat-kamit. Berdoa agar diberi keberanian serta ketenangan pikiran. Begitulah cara Raden Panca ketika menghadapi ketakutan. Anak itu teringat sahabat karibnya yang selalu lebih berani jika dihadapkan pada keadaan bahaya.
Benar saja, bayangan jelek dalam pikiran Bajra memang buyar. Hati Bajra sedikit lega.
"Ternyata kau di sini ...."
Justru, bahaya malah menjadi kenyataan yang ada di depan mata, bukan hanya khayalan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Petaka Sumur Tua
Mystery / Thriller"Astaga!" Panca mundur selangkah. Bajra heran dengan sikap kawannya. "Ada apa?" Panca tidak langsung menjawab. Bajra mengerutkan kening. Keduanya sepakat untuk sama-sama menengok kembali ke dalam sumur. Memang agak gelap. Kedalaman sumur tersebut...