25

39 11 0
                                    

Jalanan di Batavia belum diaspal sehingga debunya beterbangan tatkala angin menerpa. Panca bisa membedakan betapa jalanan tidak nyaman untuk dilintasi apabila musim kemarau. Andaikan tidak ada pohon yang tumbuh rindang mungkin panasnya akan memantul hingga ke wajah.

Karena alasan demikian, ada seorang petugas yang dikhususkan menyiram jalan raya. Dia lelaki bertelanjang dada. Kepalanya diikat oleh sehelai kain menjadi penanda dari golongan mana orang tersebut berasal. Kaki telanjang semakin jelas terlihat karena hanya celana pendek yang dikenakan. Dua buah gembor yang dipikul memancarkan air dimana sebelumnya diisi dari kanal terdekat.

Pedati pun berjalan pelan saja karena si sapi kepanasan. Pemiliknya tidak ingin jika hewan penarik itu kelelahan akibat berjalan di bawah terik panas matahari. Apalagi, muatan di atas pedati masih banyak. Gerabah, sebagai barang dagangan yang dijajakan oleh Panca belum laku seluruhnya.

"Kenapa berhenti?" Anna heran karena Panca menarik sais untuk memberi isyarat agar si sapi berhenti melangkah.

"Sudah cukup lama kita berkeliling, tetapi belum menemukan tanda-tanda jika ada anak itu." Panca mengemukakan alasan.

Anna mengangguk-angguk. Sedangkan Asih masih bersikap seperti sebelumnya, lebih banyak terdiam.

"Asih, kau lapar?" Anna bertanya kepada orang yang duduk berseberangan dengannya.

"Tidak, aku tidak lapar."

Panca tidak menengok ke belakang, tidak melihat bagaimana wajah Asih begitu pucat. "Mungkin dia mengantuk, Nona. Jam segini, biasanya dia tertidur."

Anna tidak langsung mengerti apa maksud dari Panca.

"Dia gadis kelelawar."

"Ah," Anna mengerti maksud dari Panca. Gadis itu mengangguk pertanda mengerti apa yang disampaikan kawannya.

Asih hanya tersenyum di balik topi anyam yang dikenakannya.

"Aku memaafkanmu, kau tidak usah ..."

"Iya, Nona. Kau mengatakannya berulang kali. Terima kasih." Asih membalas senyuman Anna.

Telinga Panca mendengar percakapan diantara dua gadis yang duduk di belakangnya. Namun, matanya mengamati keadaan sambil berharap jika bisa bertemu dengan Bajra. Sekaligus, dia pun berharap ada pembeli yang datang menghampiri.

"Asih, jangan lupa kenakan topi dengan benar," Panca mengingatkan Asih karena dia melihat ada seseorang yang mendekat. "Sepertinya ada calon pembeli."

Ternyata, seorang perempuan berkebaya berjalan ke arah pedati yang tengah terparkir. Dia datang dari arah sebuah rumah mewah bergaya Indis. Panca bisa menduga jika wanita tersebut seorang pekerja rumah tangga di rumah tersebut.

"Jang, saya tunggu dari kemarin."

"Kami baru sampai hari ini," Panca mengemukakan alasan.

Wanita itu meraba-raba gerabah yang tersimpan di pedati. Dia tersenyum kepada Anna dan Asih. Hanya Anna yang membalas senyumannya, Asih malah membuang muka.

"Nona, ikut jualan?"

"Saya hanya ikut serta jalan-jalan. Ternyata menyenangkan." Anna mengamati wanita pembeli gerabah. "Mau membeli pot bunga?"

"Ya, Nona. Majikan saya sedang rajin menanam bunga. Tapi, sekarang sedang tidak ada di rumah."

Panca membiarkan wanita itu memilih hingga beberapa saat. Ternyata, cukup banyak pot bunga yang dibelinya. "Saya antarkan hingga ke selasar, ya, Bi?"

"Boleh."

Panca cekatan melayani si pembeli. Dua buah pot bunga dibawa hingga selasar rumah. Diletakkan di sana kemudian membayarnya dengan beberapa uang logam.

Panca dan Petaka Sumur TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang