Panca duduk di atas pedati setelah sebelumnya dia melipir sejenak ke kerumunan pohon pisang. Dia menoleh kepada Bajra yang tampak lahap menikmati satu sisir pisang yang sudah matang.
"Paman, terima kasih ya pisangnya!"
Seorang lelaki melambaikan tangan sambil memanggul cangkul. Seseorang yang sering ditemui oleh dua sekawan itu apabila melewati deretan pohon pisang dan ketela pohon yang tumbuh subur di sana. Begitu sering pedati milik Panca melewati jalan yang sama maka orang pun sudah mengenal mereka berdua.
"Ah, kau ini. Kalau sudah ada makanan, seakan lupa pada kawan sendiri." Panca memegang tali kekang dengan maksud si sapi tetap berjalan di jalan desa yang berkerikil.
"Padahal, orang tadi memberi pisang itu buatku."
"Heh, maaf. Kau tahu, pisang ini manis."
"Bagaimana aku tahu, aku belum mencicipinya satu pun."
Bajra berhenti mengunyah. Dia menunjukkan sebuah pisang sebesar ibu jari yang telah matang nan menguning. Anak bertubuh gempal itu tersenyum. Kedua pipinya yang tembem terlihat semakin besar ketika mulut masih terisi makanan.
"Hanya terisa satu buah? Dari satu sisir?" Panca heran dengan kemampuan makan Bajra. "Oh, dasar si perut karung goni. Makanan sebanyak itu bisa masuk."
Bajra malah mengelus perutnya. Dia memamerkan perut seakan sesuatu yang bisa dibanggakan.
Panca hanya bisa menggelengkan kepala.
Pedati pun terus melaju dengan kecepatan yang semakin berkurang. Apalagi saat ini mereka telah sampai di wilayah dataran rendah yang panas serta lembab. Kawasan pegunungan yang sejuk tidak lagi terasa di kulit. Keadaan demikian diperparah oleh langit cerah. Awan enggan menaungi mereka yang melakukan perjalanan sebagaimana Panca, Bajra dan dua ekor sapi penarik pedati.
Ketika hawa sepanas hari itu, maka Bajra menjadi orang yang tersiksa. Lemak di tubuhnya yang lebih banyak memperparah suhu tubuh. Dia berkeringat begitu banyak.
"Ah, keringatmu lebih bau dari tai sapi."
"Eiss, kurang ajar!" Bajra membuka baju yang dikenakannya sehingga tampak lipatan kulit di badannya.
***
Perjalanan mereka menuju Batavia senantiasa melewati jalan yang sama. Jika tempo hari mereka akan menemui orang bekerja di ladang, maka hari ini orang-orang tersebut tidak tampak lagi. Begitulah perbedaannya.
Kalaupun ada satu atau dua orang yang kebetulan ada di ladang, mungkin mereka hanya berburu binatang seperti burung perkutut yang terlihat beterbangan menyeberangi jalan. Pemandangan demikian wajar terjadi ketika musim tanam belum tiba. Lahan-lahan dibiarkan kering kerontang. Hanya tersisa beberapa pohon besar seperti pohon nangka atau pohon kelapa yang menjulang.
Begitupula saat ini, Panca hanya melihat pohon kelapa yang tumbuh tinggi dekat sebuah rumah bergaya Indis. Tidak jauh dari sana, hamparan ladang tebu yang telah dipanen sehingga hanya akarnya saja yang tampak menyembul ke permukaan.
"Raden, mari kita tengok rumah itu!" Bajra memberi ide yang bisa dianggap berani oleh Panca.
"Ngawur. Bagaimana kalau Burhan dan anak buahnya masih ada di sana?"
Sebenarnya, Panca sudah mewanti-wanti agar tidak kembali ke rumah tua. Namun, nampaknya Bajra bersikeras. Dia melompat dari bangku pedati padahal kendaraan beroda itu masih melaju.
"Hei, sudah kubilang, jangan!" Panca berteriak karena kesal ketika sahabatnya tidak mendengarkan, "ah, ini alasan kenapa aku tidak mau kau ikut berjualan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Petaka Sumur Tua
Mystery / Thriller"Astaga!" Panca mundur selangkah. Bajra heran dengan sikap kawannya. "Ada apa?" Panca tidak langsung menjawab. Bajra mengerutkan kening. Keduanya sepakat untuk sama-sama menengok kembali ke dalam sumur. Memang agak gelap. Kedalaman sumur tersebut...