6

52 12 0
                                    

Anna masih bingung dengan apa yang terjadi. Begitupula dengan tiga penari serta rombongan gamelan pengiring yang duduk bersila di pekarangan.

Pesta baru dimulai, langsung bubar.

Tentu saja gadis itu tidak bisa tinggal diam serta menunggu berita dari orang lain apa yang sebenarnya tengah terjadi. Setitik cahaya kemerahan dari arah selatan kebun tebu sudah cukup mengajak kedua kakinya untuk melangkah.

"Eiss, kau mau ke mana, Anna?" Johanna turut serta berjalan menuju ujung pekarangan.

"Kita lihat ...."

"Jangan, Anna. Bahaya." Tangan kanan Johanna meraih tangan kiri Anna.

"Aku hanya ingin melihat seberapa besar kebakaran di sana."

"Eiss, aku yakin itu bukan kebakaran biasa."

Keduanya berjalan beriringan diantara obor-obor yang dimaksudkan untuk menerangi kala pesta. Api obor tidaklah cukup untuk menerangi semua areal pekarangan rumah perkebunan. Masih ada titik yang gelap hingga bisa membingungkan orang yang belum mengenal lingkungan sekitar.

Langkah Anna terhenti ketika sebuah parit membatasi areal pekarangan dengan kebun tebu. Andaikan Johanna tidak menarik bagian belakang baju maka bisa saja Anna terperosok.

"Firasatku, kebakaran yang disengaja."

Anna menoleh kepada Johanna. Gadis berambut ikal nan bergelombang itu mengangguk-angguk. Bibirnya meruncing, pertanda jika serius dengan apa yang dibicarakannya.

"Disengaja?"

Johanna menghela nafas. Sebenarnya dia tidak bisa membuktikan omongannya sendiri. Hanya saja dia memiliki dasar atas prasangkanya tersebut.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Johanna. Buat apa kebun tebu itu dibakar?"

Johanna tidak langsung menjawab. Dia memperhatikan sekeliling. Seakan sedang mencari seseorang. Kemudian dia mendekatkan mulut ke telinga Anna. "Ada desas-desus jika terjadi sesuatu antara ayahku dengan beberapa orang warga."

"Masalah? Masalah apa?"

"Entahlah. Itu masalah orang dewasa. Aku pun tidak mengerti. Tapi, tempo hari aku pernah melihat beberapa orang bertengkar dengan mandor perkebunan."

"Karena?"

"Aku pun tidak tahu. Hanya saja ...."

"Kau berpikir jika ini buntut dari pertengkaran itu?"

Johanna mengangguk.

Pada akhirnya, mereka berdua tidak bisa berbuat banyak. Hal yang bisa dilakukan oleh kedua gadis tersebut hanya berdiri sambil terus memperhatikan kobaran api yang semakin membesar. Cahaya dari api mampu menerangi kawasan yang sebelumnya gelap apabila malam tiba.

Kedua gadis berdarah Eropa itu memang tidak diperbolehkan berdiri jauh dari rumah. Ketika mereka berdua memperhatikan kobaran api yang menerangi, ada seorang perempuan yang meminta mereka untuk kembali ke teras rumah.

"Ayo, Anna."

Anna hanya terdiam. Dia tidak serta merta mengikuti Johanna melangkahkan kaki. Gadis itu belum sepenuhnya mengerti keadaan. Bagi dia, kebakaran lahan perkebunan perihal biasa. Tidak perlu dikhawatirkan.

Tapi, tuan rumah berpandangan lain. "Anna, seperti yang aku bilang, ini bukan kebakaran biasa." Johanna kembali mendekati Anna. "Ayahmu khawatir. Aku tahu itu."

"Bagaimana kau tahu jika ayahku khawatir?"

Johanna tidak bisa menjelaskan. Dia hanya bisa mengapit tangan teman barunya itu sambil mengangkat gaun agar tidak menyapu tanah.

Panca dan Petaka Sumur TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang