32

34 10 6
                                    

Panca mengajak si sapi penarik pedati untuk berhenti. Anna heran karena mereka belum sampai tujuan.

"Kenapa? Penginapan masih jauh."

"Aku pikir, sebaiknya kita titipkan si sapi di sini." Panca menunjuk sebuah rumah yang memiliki pekarangan cukup luas.

"Lantas, kita akan berjalan kaki ke penginapan?"

Panca menggelengkan kepala.

"Kita teruskan untuk mencari Bajra?"

Panca mengangguk.

"Aku setuju ... tetapi ... siapa tahu Bajra datang ... ke penginapan untuk menemui A Ling."

"Mungkin saja. Tapi, pikiranku tidak tenang sebelum bisa bicara dengan orang-orang di Koran Batavia."

"Kau yakin Bajra datang ke sana?"

"Justru itu, kita harus memastikan terlebih dahulu, apakah Bajra pernah datang ke sana atau belum."

Panca tidak lagi memikirkan kemungkinan mana yang lebih mendekati, apakah Bajra datang ke penginapan A Ling sebagaimana yang dilakukannya jika berkunjung ke Batavia. Atau, Bajra mendatangi kantor Koran Batavia seperti yang diperkirakan sejak awal. Anna pun tidak terlalu mempertanyakan mana yang paling masuk akal. Dia hanya kembali bertanya-tanya, untuk apa Bajra datang ke kantor Koran Batavia?

"Aku pun tidak tahu pasti. Tetapi, firasatku mengatakan, jika ini ada hubungannya dengan Abimana."

Anna jelas tidak tahu siapa Abimana serta apa hubungannya dengan Bajra. Dia hanya ingin memastikan jika kawannya itu dalam keadaan selamat. Setelah tahu, jika tadi siang Bajra tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Anna menunggu Panca memarkirkan pedati. Entah bagaimana anak lelaki itu bisa mengenal pemilik rumah yang dijadikan tempat untuk menitipkan dua ekor sapi, sesuatu yang sangat berharga baginya. Jika diperhatikan, memang bukan hanya satu buah pedati yang terparkir di sana. Cahaya lampu jalan bisa memberikan gambaran jika beberapa pedati terparkir rapih di bawah pohon kelapa. Sedangkan si sapi dituntun ke sebuah kandang di belakang rumah.

Apakah ini tempat penitipan pedati? ternyata ada orang yang menjalankan bisnis seperti ini.

Tidak berselang lama, Panca berjalan dari arah pekarangan yang gelap. Sedangkan Anna menyambutnya dengan melipat kedua tangan di depan dada.

"Cukup mahal uang sewa di tempat ini?"

"Lumayan. Tetapi, lebih murah dibandingkan penginapan manusia." Pancar terkekeh.

Anna merasa tidak ada yang lucu. Justru dia mengerutkan dahi.

"Menurutmu, sekarang Asih ada di mana?" Anna tiba-tiba saja bertanya tentang kawan barunya.

"Hah, pasti dia ... sedang berkumpul dengan sesama pencuri."

"Kau tahu, sebenarnya aku masih bingung ... bagaimana bisa kau berkawan dengan seorang pencuri?"

"Aku tidak bermaksud berkawan dengannya. Tetapi, kau tahu kan kemarin malam pun aku tidak berniat bertemu dengannya. Tiba-tiba saja dia datang ke rumah tua."

Anna mengangguk pertanda jika dia percaya kepada apa yang disampaikan oleh Panca. "Apakah kau yakin jika kedatangannya ke rumah tua hanya sebuah kebetulan?"

Panca berhenti berjalan. Dia menoleh kepada Anna.

"Karena aku pun merasa jika kedatangan si Asih ke rumah Tuan Johannes bukanlah sebuah kegiatan yang ... acak."

"Maksudmu, dia memang sengaja datang ke sana. Membakar lahan tebu?"

"Dan, Tuan Burhan pun tahu jika pembakar ladang tebu adalah ulah dari Asih." Anna mengingat kejadian tadi siang dimana Burhan nyaris menjadikan tubuh Asih sebagai daging giling. Anna bergidik, "aku masih sulit percaya jika Asih akan digiling dalam mesin penggilingan tebu."

Panca dan Petaka Sumur TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang