2

57 16 0
                                    

Panca kebingungan.

"Kita harus bagaimana?" Bajra lebih bingung.

Ketika mendapati seorang pria teronggok di dasar sumur, wajar saja jika kedua remaja itu tidak tahu apa yang harus dilakukan. Memperhatikan lingkungan sekitar, tidak ada tali atau benda apa pun yang bisa digunakan untuk menuju dasar sumur.

Sumur itu terletak diantara deretan pohon tebu yang tumbuh tinggi. Memang menjadi tempat yang cocok untuk menyembunyikan sesuatu atau seseorang. Apabila sebelumnya orang di dalam sumur itu disiksa, kemudian dimasukkan ke dalamnya maka tidak akan ada yang memperhatikan.

"Pantas saja tali timba tidak ada di sini." Bajra menatap orang di sebelahnya.

"Mungkin, agar tidak ada orang yang bisa menolongnya?"

Bajra mengangguk cepat. Bola matanya terlihat semakin membulat.

"Kita harus menolongnya."

Mendengar Panca berniat melakukan sesuatu kepada orang di bawah sana, Bajra menggelengkan kepala. Kedua tangannya memegang lengan kanan Panca. Remaja yang memiliki pipi tembem itu tidak setuju dengan niat dari kawannya.

"Kenapa?"

"Mungkin dia sudah mati." Bajra melongok ke dalam lubang sumur. "Kita tinggalkan saja, dia bukan ... saudara."

Panca agak marah ketika Bajra memberikan alasan penolakan yang terdengar egois.

"Lagipula, kita bisa ... bahaya ... jika turut campur."

Ketakutan dari Bajra bisa dimengerti. Hanya saja, Panca tidak suka jika ketakutan malah mengalahkan sifat welas asih yang ada dalam diri manusia. Dalam keadaan demikian, anak yang biasa dipanggil "Raden" itu pun harus berpikir keras. Memutuskan, apakah akan berbuat sesuatu kepada orang yang tampak lemah di dasar sumur. Atau, membiarkannya mati membusuk.

"Tolong ...."

Panca teralihkan oleh suara lirih dari dasar sumur. Meskipun pelan, terdengar lebih keras akibat gaung yang ditimbulkan oleh dinding sumur.

"Paman, apakah Paman baik-baik saja?"

Pertanyaan dari Bajra memang terdengar mengherankan. Jelas sekali dia tidak baik-baik saja, tubuhnya lemah serta luka tampak sekali di sekujur tubuh. Bahkan, darah membuat bajunya tampak merah diantara putih sebagai warna dasar.

"Tolong ...!"

Panca berpikir keras bagaimana cara untuk menggapai dasar sumur. Hal yang terpikir olehnya adalah bagaimana menemukan sebuah tali.

"Tunggu di sini." Panca bicara sambil berjalan cepat ke arah rumah yang tidak jauh dari sumur tersebut.

***

Meninggalkan Bajra bersama "orang tak dikenal", maka Panca bisa sampai di depan pintu belakang rumah yang dimaksud.

Sepi. Apakah ada orang di sini?

Hal demikianlah yang ada dalam benak Panca. Wajar jika dia berpikir demikian, karena pekarangan rumah pun begitu penuh dengan daun kering yang berserakan. Pohon nangka terdekat, sudah menjatuhkan daunnya untuk mengurangi penguapan. Begitupula pohon mangga, daunnya berkurang ketika berbunga.

Biasanya ada orang di sini.

Musim panen tebu belum tiba. Wajar jika tidak ada orang di sini. Pemilik kebun pun sepertinya belum memeriksa keadaan lahan. Begitupula  rumah yang dikelilingi kebun tebu tersebut, mungkin saja pemiliknya belum singgah dalam waktu lama.

"Permisi!" Panca berteriak sambil memeriksa setiap sisi luar rumah. "Sampurasun!"

Tentu saja tidak ada orang menyahut. Aku tahu, tetapi apa salahnya jika mencoba.

Panca dan Petaka Sumur TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang