Abimana duduk di belakang meja, tangannya kembali menyentuh tuts mesin tik setelah sekian lama. Jemari kurus milik lelaki itu agak kaku ketika digunakan untuk menuliskan isi pikirannya. Dia sengaja membelakangi dinding karena arah cahaya lampu lebih terang jika tidak terhalang tubuh.
"Sudah larut, sebaiknya kau pulang dulu." Frans memberinya saran sambil meraih jas yang tergantung di kakstop.
"Ah, sepertinya aku akan begadang malam ini."
Frans menaruh kembali jas yang hendak dipakai, "kau masih membutuhkan banyak penyesuaian. Kantor pun tidak mengharuskanmu untuk bekerja."
Abimana menoleh kepada Frans. "Tapi, aku tidak bisa duduk saja ... atau tiduran ... sedangkan bangsaku menderita."
Frans sudah biasa mendengar gaya bicara Abimana yang tiba-tiba saja meninggi ketika diajak berdiskusi. Lelaki Eropa itu memaklumi semangat rekan kerja berdarah pribumi di depannya. Hanya saja Frans tidak ingin jika Abimana terlalu memaksakan diri untuk kembali bekerja.
"Kau belum pulih benar," Frans kembali menekankan alasannya untuk mengistirahatkan Abimana. "Kejadian di sumur tua itu sungguh mengubah ragamu. Lihatlah di cermin, tubuhmu begitu kurus."
"Biarlah, jiwaku tidak sekurus tubuhku." Abimana bersandar di sandaran kursi.
Frans mengambil kursi yang terletak di meja lain, "dengarkan aku, apa yang telah kau tulis telah menyebabkan kericuhan ... aku pikir itu sudah cukup untuk memberi mereka pelajaran."
"Itu belum cukup, Frans."
Frans menghela nafas.
"Ya, ya, aku berterima kasih kepadamu karena telah mempertahankan aku di kantor ini. Bila kau berniat memecatku, silakan."
"Hei, kita ini sudah berteman sejak di HIS.* Aku tahu kau sangat berbakat di bidang ini. Tidak mungkin ...."
"Tapi, aku ini pribumi. Berbeda dengan kalian ... kalian tidak memperjuangkan hak-hak rakyat ...."
Kalimat terakhir yang terlontar dari mulut Abimana benar-benar bisa membuat Frans terdiam. Ada banyak hal yang dipikirkan oleh lelaki Eropa tersebut, Abimana bisa membaca dari raut wajahnya. Walaupun sebenarnya Abimana enggan memperuncing jurang perbedaan antara dia dan Frans, tetapi isi pikirannya tidak bisa terus terbenam. Abimana membutuhkan seseorang yang bisa mendengarkan curahan hatinya, tanpa prasangka.
Abimana menyentuh dagunya. Kini janggut lelaki itu telah dicukur setelah sebelumnya tumbuh tanpa sempat memotongnya. Tanpa brewok, wajah kurus lelaki itu semakin jelas terlihat. Kemudian tangannya menyentuh dahi serta kepala plontos yang terbungkus kain motif batik.
"Perhatikan, kau tampak kelelahan. Kau harus mengembalikan kesehatanmu ...."
"Frans, aku masih kuat untuk begadang ...."
"Dengarkan aku, jika kau sakit, bagaimana bisa kau kembali bekerja?"
Abimana mengalihkan pandangan ke arah dinding.
"Ingat, pekerjaan kita bukan hanya menulis berita di koran," seraya memegang koran yang tergeletak di meja, "tetapi, melawan orang-orang yang bersikap seenaknya pada ... orang-orang yang lemah."
Abimana kembali menoleh kepada Frans.
"Perhatikan, karena tulisanmu, oplah koran kita meningkat ... jauh lebih banyak." Frans merentangkan tangan sambil tersenyum, "walau ... resikonya pun tidaklah kecil."
Abimana tidak tertarik dengan kalimat yang terlontar dari mulut Frans. Lelaki berbaju jas putih lebih senang menyentuh tombol mesin tik di atas meja. Bagi Abimana, membicarakan bisnis ketika sedang menulis merupakan waktu yang tidak tepat. Terlebih, Abimana sangat merindukan benda ini setelah sekian hari disekap dalam sumur tua yang gelap.
"Baiklah, sepertinya kau tidak ingin diganggu." Frans kembali berdiri. "Tetapi, aku sarankan kau tidak keluar tanpa pengawalan."
"Aku bukan penakut, Tuan Frans." Mata Abimana tidak melirik Frans tetapi fokus pada gulungan kertas di mesin tik.
"Tetapi, pimpinan tidak ingin ada lagi insiden seperti waktu itu." Frans meraih jas di kakstop bercabang seperti sebatang pohon kemudian mengenakannya. "Insiden penculikan dirimu lumayan membuat kehebohan."
"Ah, bukankah itu bagus untuk menjadi berita utama."
Frans tertawa, "tapi, biaya untuk menyelamatkanmu sungguh mahal. Kau harus tahu, Koran Batavia berhutang pada seseorang, tidak ada cara lain."
Abimana terdiam.
Frans pun pergi tanpa pamitan atau sekedar basa-basi. Lelaki bertopi itu hilang di balik dinding yang memisahkan ruang kerja komunal dengan koridor. Masih terdengar ketika sepatunya menghentak papan kayu sebagai bahan pembuatan tangga menuju lantai dasar.
Hal demikian tidak berlangsung lama, kini suasana kembali sunyi. Tidak terdengar lonceng dari kereta kuda yang biasa melintas di jalan raya depan kantor Koran Batavia. Frans pun tidak membunyikan bel sepeda yang biasa digunakannya untuk pulang pergi bekerja. Tidak terdengar suara lolongan anjing penjaga di bangunan milik saudagar kaya ibu kota padahal letaknya hanya satu blok dari kantor Koran Batavia.
Justru, suara ketukan mesin tik model lama yang digunakan oleh Abimana malah menjadi benda yang paling berisik. Bahkan, suara tikus berdecit pun kalah. Hanya saja tikus-tikus di kantor itu sudah terbiasa mendengarnya, jadi mereka pun tidak terlalu kaget.
Membutuhkan waktu puluhan menit untuk menyelesaikan satu halaman artikel. Cukup cepat bagi orang yang sudah lama tidak menulis. Namun, tulisan tersebut belum selesai.
Aku butuh udara segar untuk memperoleh inspirasi.
Abimana menoleh ke arah jendela di belakangnya. Sudah ditutup lebih awal karena dalam ruangan tersebut hanya ada Abimana. Biasanya jendela masih terbuka jika ada orang yang bekerja meskipun sudah larut malam. Tetapi, Frans lebih mengkhawatirkan keselamatan Abimana sehingga dia segera menutupnya sebelum Abimana menyadari jika itu menjadi alasan kenapa ruangan terasa pengap.
Setelah mendekati dinding, tangan Abimana menyentuh gerendel kemudian membuka jendela bergaya jelusi. Ukuran daun jendela terbilang besar sehingga baru dibuka sedikit saja sudah terasa perubahan di dalam ruang kerja bersama tersebut.
"Raden, hari ini anda bekerja lembur?" Seorang polisi menyapa dari permukaan halaman kantor.
"Ya, Tuan. Sekarang ada temannya?"
Dua teman si polisi yang dimaksud ada dua lelaki berpakaian serba hitam yang ditugaskan untuk berjaga. Mereka berdua berdiri tepat di bawah lampu penerangan yang terpasang di trotoar.
"Demi meningkatkan kewaspadaan, Raden."
Abimana melempar senyuman. Sedangkan tangan kanannya kembali menarik daun jendela. Dia bermaksud menutupnya, tetapi urung dilakukan. Ada seseorang yang menarik perhatiannya.
Kenapa dia ada di sini?
Penglihatan Abimana cukup jelas untuk memastikan jika orang yang berdiri di bawah lampu trotoar itu adalah orang yang dikenalnya. Orang tersebut dihadang oleh dua petugas keamanan yang sedang berjaga. Sesaat, Abimana hanya memperhatikan bagaimana tubuh orang itu diringkus dengan mudahnya, tanpa perlawanan.
Tetapi, arah mata orang tersebut tertuju ke arah jendela di lantai dua. Abimana pun menyadari hal tersebut. Dia tahu aku ada di sini.
Terdengar suara minta tolong namun tidak ada yang menggubris. Hingga orang tersebut memohon langsung kepada Abimana, "Paman, saya mohon! Tolong saya, Paman."
"Diam! Memangnya kau siapa? Minta tolong kepada ...," si polisi pun membentak.
"Paman polisi, Paman lupa kepada saya?"
Si polisi tidak menggubris. "Ah, meskipun aku mengenalmu, kau tidak boleh masuk. Orang asing tidak boleh masuk."
Abimana berpikir keras, bagaimana aku harus bersikap kepada anak ini?
Tampaknya, apa yang menjadi pertanyaan Abimana akan segera terjawab, "Paman Abimana, tolong saya! Saya mohon! Anak buah Burhan mengejar saya!"
-----------------------------------
Keterangan:
*) Holland Indlandsche School, Sekolah dasar untuk anak-anak Bumiputera dari kalangan bangsawan yang didirikan pertama kali tahun 1870.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Petaka Sumur Tua
Mystère / Thriller"Astaga!" Panca mundur selangkah. Bajra heran dengan sikap kawannya. "Ada apa?" Panca tidak langsung menjawab. Bajra mengerutkan kening. Keduanya sepakat untuk sama-sama menengok kembali ke dalam sumur. Memang agak gelap. Kedalaman sumur tersebut...