Bajra memperhatikan ruang tidur nan sempit yang disediakan untuk karyawan Koran Batavia. Abimana mengajak anak remaja itu menginap di sana setelah tahu jika Bajra dikejar-kejar oleh anak buah Burhan. Kamar tidur yang dimaksud hanyalah ruangan yang diperuntukkan untuk sekedar beristirahat. Ada dua ranjang tingkat, di sanalah Bajra duduk sambil berbincang dengan Abimana.
Awalnya, Bajra duduk di lantai ketika pertama kali masuk ke sana. Tetapi Abimana melarangnya. Lelaki itu tidak ingin membedakan hal sederhana seperti demikian, walaupun sebenarnya melanggar tatakrama.
"Saya terbiasa tidur di lantai, Paman. Lagipula, pegawai lain tidak akan marah jika tahu saya bersiap tidak sopan?" Dalam hal demikian Bajra masih tahu tatakrama.
"Tetapi aku tidak suka pembedaan kelas sosial cara Hindia Belanda!" Nada suara Abimana meninggi.
Bajra mengerti apa yang dimaksud oleh Abimana. "Bukankah kita memang diciptakan demikian?"
"Persetan dengan pembedaan kelas!"
Ketika membicarakan kelas sosial, Bajra tahu betapa warga Hindia Belanda dibagi dalam tiga kelas sosial. Anggota kelas I merupakan warga Eropa dimana mereka memiliki banyak keistimewaan. Anggota kelas II merupakan warga pribumi priyayi dan warga keturunan Cina, Arab dan India. Sedangkan Bajra termasuk warga kelas III dimana kebanyakan warga pribumi termasuk di dalamnya.
Abimana enggan membicarakan hal tersebut lebih lama lagi. Dia lebih suka terdiam kala ada orang yang bicara demikian. Bagi Abimana, bicara perkara sosial di dalam negerinya hanya akan membuatnya semakin sakit hati.
"Maafkan aku karena telah melibatkanmu hingga sejauh ini," Abimana merasa bersalah karena Bajra harus terlibat masalah yang berhubungan dengan dirinya. "Ditambah, hubungan persahabatanmu menjadi renggang karena aku."
"Ah, tidak ada yang perlu dimaafkan, Paman." Bajra bicara sambil menatap wajah Abimana. "Saya ikhlas mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Paman."
"Tapi, mendorong putri Johannes ke dalam sumur ... menurutku itu perbuatan yang keterlaluan."
Bajra tertunduk, "saya tidak sengaja, Paman. Benar-benar tidak sengaja."
Abimana berdiri di depan Bajra. Tangan kirinya menepuk pundak Bajra. "Tenang, kau aman di sini."
Bajra mengangguk pelan.
"Anak buah si Burhan tidak akan berani mengejarmu hingga ke sini."
Bajra kembali mendongak, memperhatikan Abimana yang membuka laci rak kecil di sudut kamar. Tampak wajahnya yang kurus memantul dalam cermin. Ternyata lelaki itu mengambil sebatang rokok serta pemantiknya. Dia berdiri tepat di depan cermin yang terpasang di dinding yang berseberangan dengan pintu masuk.
"Mau merokok?" Abimana nampaknya hanya bercanda, "ah, jangan. Sebaiknya kau tidak suka merokok."
"Kalau Paman merokok, sepertinya saya pun akan melakukan hal yang sama."
Abimana merasa terkejut. Keterkejutan Abimana cukup beralasan.
"Paman Abimana, saya mengidolakanmu, Paman."
Bagi Abimana, kata "idola" terdengar unik. Jarang sekali ada orang yang mengatakan hal demikian. Lelaki berdarah priyayi itu tertawa. Dia berjalan ke arah jendela, kemudian membukanya. Asap yang semula kebingungan mencari tempat keluar, kini menyebar.
"Tulisan-tulisan Paman memberi saya banyak pencerahan."
"Benarkah?" Abimana duduk di lubang jendela.
"Benar, Paman," Bajra sungguh sumringah. Dia nyaris mengangkat tubuhnya ketika duduk di tepi ranjang.
Sekali lagi, Abimana menghirup asap rokok. Kemudian membuangnya ke arah jendela. Bajra bisa melihat pemandangan itu berlatarkan langit malam yang berbintang.
"Paman benar, orang-orang asing itu harus pergi dari negeri ini."
Abimana terkekeh, "jangan lupa, mereka pun telah melakukan banyak hal ...."
"Tapi, mereka merampas hak rakyat," Bajra memotong pembicaraan Abimana, "mereka hanyalah bangsa pendatang, seharusnya mereka menghormati rakyat pribumi."
"Ya, kalau mereka ingin hidup di sini, maka harus mengikuti cara hidup orang-orang di sini," Abimana merasa memiliki kawan berbincang yang sepadan.
Bajra mengepalkan tangan kanan kemudian meninju pada tangan kiri yang terbuka. Ujung bibir anak remaja itu turun ke bawah, dia bisa memuntahkan isi pikirannya.
"Sejujurnya, aku tidak senang jika orang-orang kulit putih itu datang ke sini dan merampas apa yang kita miliki sebagai pribumi."
"Kita usir saja mereka!" suara Bajra meninggi.
"Eiss, tidak semudah itu, anak muda." Abimana kembali mengisap asap rokok kemudian meniupkannya. "Kita harus berpikir dan bertindak cerdas."
Bajra mengangguk.
"Kita buat mereka tidak betah ada di negeri ini," Abimana menatap Bajra.
"Caranya?" Bajra bertanya tetapi dia punya sedikit jawaban, "dengan merusak perusahaan yang mereka miliki?"
Abimana tersenyum. "Kau anak pintar, kau cerdas. Aku sudah menyukaimu sejak kita disekap di dasar sumur."
Bajra mengangguk-angguk sebagai tanda jika dia mengerti maksud Abimana. Anak remaja itu mulai mengerti betapa dahsyat dampak sebuah tulisan pada kondisi sosial di tengah masyarakat. Setelah mendengarkan penjelasan dari Abimana, ternyata surat kabar bisa menjadi alat yang efektif bagi sebuah pergerakan.
"Kita terlibat langsung dari sebuah gerakan perlawanan yang terencana." Abimana membuka sebuah rahasia yang semestinya tidak diketahui banyak orang. Hanya saja, ketika melihat Bajra yang mau berkorban untuk sesuatu yang diyakininya, maka Abimana tidak segan untuk bicara apa yang ada dalam pikirannya tanpa syak wasangka.
"Jika saya tidak menghampiri Paman kala disekap di sumur tua, mungkin saya tidak akan tahu betapa penting peran sebuah surat kabar." Bajra bicara dengan nada mantap. "Selama ini saya hanya mengira jika surat kabar hanya berguna untuk menyebarkan berita. Ternyata, surat kabar bisa mengajak warga untuk berbuat sesuatu."
Abimana mengangguk sambil menunjuk Bajra pertanda sepakat.
"Paman, apakah saya bisa menjadi seorang wartawan?" Bajra ingin sekali menanyakan hal ini sejak lama. "Kata Raden Panca, jadi wartawan harus sekolah dahulu."
Abimana tidak menjawab pertanyaan Bajra. Dia sengaja karena tahu Bajra akan kecewa ketika mendengar jawabannya. "Sekarang di mana Raden Panca?" Abimana memilih untuk mengalihkan pembicaraan.
"Saya pun tidak tahu. Mungkin ... dia sedang mencari saya."
Abimana menoleh ke arah jendela.
"Atau, dia ditangkap Tuan Johannes karena sudah membantuku ketika mencelakai putrinya."
Abimana kembali menoleh kepada Bajra.
Mereka berdua saling tatap.
"Kau tunggu di sini," Abimana meminta Bajra untuk diam.
"Lah, Paman hendak ke mana?"
Abimana tidak langsung menjawab. Dia terlihat gugup. Tangan kiri Abimana memegang wajah. Sedangkan tangan kanannya terlihat sedikit bergetar. Bajra bisa melihat dengan jelas betapa lelaki itu ketakutan. Jemari yang mengapit sebatang rokok tidak bisa diam. Mungkin saja dia lupa jika dirinya sedang menikmati kepulan asap rokok. Abimana tidak bisa menikmati lagi ritual menghisap sebatang sigaret sebelum tidur.
Bajra heran dengan perubahan sikap orang di depannya. Tetapi Bajra belum bisa memastikan alasan perubahan sikap lelaki berbaju putih tersebut.
"Burhan dan anak buahnya datang ke sini."
Bajra pun penasaran. Dia melongok melalui jendela. Kini sudah jelas penyebab ketidaknyamanan yang dialami oleh Abimana. Terpikir oleh Bajra untuk segera menutup jendela setelah melihat sesuatu yang menakutkan di bawah lampu trotoar.
"Kita harus bersembunyi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Petaka Sumur Tua
Misteri / Thriller"Astaga!" Panca mundur selangkah. Bajra heran dengan sikap kawannya. "Ada apa?" Panca tidak langsung menjawab. Bajra mengerutkan kening. Keduanya sepakat untuk sama-sama menengok kembali ke dalam sumur. Memang agak gelap. Kedalaman sumur tersebut...