Anna berjalan diantara reruntuhan atap pabrik yang ambruk setelah terbakar hebat. Tangan kirinya memegang dinding yang berubah warna, semula putih kini hitam akibat jelaga. Ketika melongok ke dalam pabrik melalui pintu utama yang terbuka lebar maka Anna bisa menyimpulkan betapa besar kerugian yang dialami oleh Tuan Johannes dan kolega bisnisnya. Termasuk ayah dari Anna sendiri, Tuan Eijkman.
Anna ikut merasa sedih, marah dan kesal apabila bisnis milik ayahnya terganggu seperti saat ini. Padahal, sang ayah sering bercerita betapa keuntungan akan diperoleh jika dia menanam modal di perusahaan gula.
"Kau tahu Anna, gula menjadi komoditas yang laku di pasar Eropa. Ayah yakin jika kita berinvestasi di perusahan Tuan Johannes, setidaknya ayah akan untung besar di masa depan."
Begitulah kalimat yang pernah terlontar dari Tuan Eijkman apabila berdiskusi di ruang tengah bersama Anna. Sebagai anak satu-satunya, Anna merasa jika harapan sang ayah bisa berarti agar Anna pun memiliki pemikiran yang sama. Tuan Eijkman tidak punya anak laki-laki yang bisa diajak bicara bisnis. Untungnya Anna bisa mengerti maksud sang ayah serta menanggapinya dengan serius. Namun, semua harapan yang terlontar tidak akan terlaksana dalam waktu dekat.
Anna mengarahkan pandangan ke wajah sang ayah. Tuan Eijkman berdiri beberapa meter dari tempat Anna menatap. Lelaki itu berusaha tegar di depan anak gadisnya. Tetapi, Anna bisa merasakan jika perasaan ayahnya pun begitu hancur. Mata Tuan Eijkman menyiratkan demikian.
Kemudian mata Anna tertuju pada kolega bisnis ayahnya, Tuan Johannes dan empat orang pria Eropa dengan penampilan mirip. Mereka mengenakan pakaian serba putih dimana kumis melengkung menjadi ciri khas perias wajah.
Mereka tengah mengamati pabrik yang hancur akibat kebakaran. Beberapa kali terdengar suara mereka yang mengumpat lantaran kesal dengan perisitiwa yang merugikan. Tetapi, mereka pun tidak bisa berbuat banyak. Hanya bisa menduga-duga jika warga yang rusuh kemarin siang sebagai biang kerok.
"Tuh, kan. Ayahku pun berpikir begitu," Johanna pun mengamati percakapan para pemilik saham di perusahaan.
"Ya, bisa jadi demikian. Tetapi, jika tidak ada bukti yang mengarah kepada orang-orang itu, bagaimana bisa kita menuduh ...."
"Anna, mereka beringas."
Anna mengangguk pelan. "Kalau para kuli itu meminta kenaikan gaji, mengapa mereka harus membakar pabrik? Bukankah mereka akan kehilangan pekerjaan jika melakukan ini?"
Johanna hanya mengangkat bahu.
Anna memandangi sang ayah dalam beberapa saat, mencoba menerka isi pikirannya. Karena Johanna tidak ingin berlama-lama di sana, Anna pun diajak untuk berjalan menjauh dari reruntuhan. Meskipun, Anna masih ingin mengamati bekas kebakaran yang nyaris tak tersisa tersebut.
"Ke mana?"
"Ke mana saja, asalkan tidak di sini. Aku tidak mau membayangkan kejadian kemarin, membuatku merinding." Johanna meraih tangan Anna.
Gadis dengan rambut dikepang itu mengikuti keinginan kawannya untuk melangkah. Walaupun, mata Anna masih tertuju pada rangka mesin giling yang hangus. Entah masih bisa digunakan atau rusak, belum ada yang bisa memastikan.
"Bagaimana kalau kita ke garasi?"
"Memangnya, lokomotif masih ada?"
Ketika kebakaran terjadi, api tidak menyentuh depot lokomotif penarik lori. Ketika urusan mengangkut barang tebu usai, lokomotif terparkir di dalam bangunan yang tidak jauh dari pabrik. Maka dari itu, kendaraan pengangkut tersebut bisa diselamatkan. Namun, Anna tidak tertarik untuk mendekatinya.
"Bagaimana kalau kita ke rumah itu?"
Johanna tidak bergairah merespon ajakan dari Anna. Gadis berpipi bulat itu tidak terlalu suka berjalan jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Petaka Sumur Tua
Mystery / Thriller"Astaga!" Panca mundur selangkah. Bajra heran dengan sikap kawannya. "Ada apa?" Panca tidak langsung menjawab. Bajra mengerutkan kening. Keduanya sepakat untuk sama-sama menengok kembali ke dalam sumur. Memang agak gelap. Kedalaman sumur tersebut...