45

37 9 0
                                    

Abimana bukanlah orang yang mudah menyerah. Setelah sekian hari tubuhnya tersekap di dasar sumur, dia masih bisa bernafas dengan jiwa yang tenang.

Pikiranku menjadi milikku yang tersisa.

Benar, hanya pikiran waras saja yang dimiliki oleh Abimana. Ketika tubuhnya tidak bisa lagi dijadikan andalan untuk menghadapi keadaan maka dari itu pikirannya menjadi modal utama. Begitupula saat ini, dia hanya duduk bersila di dasar sumur yang gelap dan bau. Pikirannya tidak sedang di sana, berkelana ke tempat lain.

Abimana selalu punya keyakinan jika dirinya akan tetap hidup. Dia masih memiliki hasrat untuk melanjutkan hidup, menjalani kesehariannya sebagai wartawan di Koran Batavia dan bertemu kembali dengan orang-orang yang dicintainya.

Hingga, harapan itu pun muncul.

Secercah cahaya di bibir sumur menyentuh tubuhnya. Dia pun menengadah.

"Kaukah itu, Adin?"

Abimana menyangka jika orang yang membuka penutup sumur adalah si Adin, orang suruhan Burhan yang bertugas menjaga mulut sumur. Namun, orang yang ditanya tidak menjawab. Abimana pun tidak bisa melihat jelas wajah orang tersebut karena membelakangi cahaya.

"Oh, kau Adun?"

Orang itu pun tidak menjawab.

Abimana tidak mendengar orang bicara. Justru, terdengar suara orang berkelahi. Terdengar suara teriakan meskipun samar, diduga tidak jauh dari bibir sumur.

Ternyata benar, orang yang membuka penutup sumur itu pun sempat ditarik sehingga dia tidak terlihat dalam beberapa saat.

Kemudian, banyak orang yang melongok ke bawah. Abimana pun saling pandang dengan kelima orang yang menatapnya.

"Ayo kita pergi, Raden!"

Abimana bisa memastikan jika ajakan untuk pergi itu bukan datang dari orang suruhan Burhan. Selama beberapa hari ini dia tidak pernah dipanggil "Raden". Hanya orang yang mengenalnya dan orang yang menghormatinya saja biasa memanggil Abimana dengan gelar kebangsawanan tersebut.

Seorang diantara mereka turun dengan seutas tali. Kaki orang itu menapaki dinding sumur tanpa terlihat kesusahan. Tubuh orang tersebut tampak kecil jika dibandingkan tubuhnya Abimana. Bukan hal yang mengherankan jika orang-orang pribumi bertubuh kecil dan pendek. Hanya saja, Abimana tidak bisa mengenali wajah orang yang kini mendekat karena tertutup oleh sehelai kain berwarna gelap.

Setelah kaki telanjangnya menapaki dasar sumur, dia langsung mengajak Abimana untuk berdiri. Tangan orang itu menyentuh tangan Abimana.

Dia seorang perempuan?

Abimana bisa menerka karena kulit tangan orang tersebut begitu halus. Demi meyakinkan, bola mata Abimana menatap mata orang tersebut. Hanya kedua matanya yang bisa dilihat. Meskipun agak gelap, setidaknya tampak sorot mata yang tidak biasa dari orang yang sedang membelit tubuh pemuda itu dengan sebuah simpul.

Orang itu memberi isyarat kepada orang yang ada di atas. Sebuah jempol tangan kiri diacungkan.

"Tunggu," Abimana meminta jeda.

Orang di depannya merespon dengan menatap Abimana.

"Kalian siapa?"

Abimana menunggu sebuah jawaban. Tetapi suara menggema itu hanya dijawab dengan sebuah isyarat jari telunjuk yang didekatkan ke bibir.

Abimana tidak sempat memperoleh jawaban. Dia langsung ditarik menggunakan tali yang mengikat tubuhnya hingga ke bibir sumur.

***

Setelah sampai di permukaan, Abimana kaget mendapati begitu banyak orang yang tergeletak di tanah. Tidak ada satu pun yang dikenalnya. Hal yang pasti, mereka semua berlumuran darah dan terlihat tidak bergerak. Mungkin mereka semua mati.

Abimana tidak bisa memastikan orang yang terluka parah dan tak sadarkan diri itu berada di pihaknya atau pihak Burhan. Lagipula, tidak ada waktu untuk memastikan semua itu.

"Ayo naik, Raden!" seorang penunggang kuda siap untuk membawa Abimana. "Cepat! Kita tidak punya waktu lagi."

Abimana hanya menuruti saja kemauan orang-orang itu. Dia dibonceng meninggalkan empat orang yang tidak dikenalnya tanpa sempat berkenalan.

Si kuda melaju menyusuri jalan setapak diantara deretan akar tebu yang menonjol ke permukaan. Pertanda jika panen tebu telah usai. Dia pun hanya bisa memandangi lahan luas yang sepi tanpa aktifitas.

Ke mana orang-orang yang biasa kerja di kebun?

Kecuali, kobaran yang tampak dari kejauhan. Abimana bisa melihat asap yang membumbung tinggi ke udara. Sumber api sebenarnya cukup jauh tetapi tampak besar karena membakar benda berukuran besar.

"Pabrik gula terbakar ...?"

Si penunggang kuda menimpali, "dibakar, Raden."

Abimana menoleh ke pundak si penunggang kuda. Bertanya-tanya sambil mengusap wajahnya yang lengket serta rambut-rambut yang tumbuh lebat.

Panca dan Petaka Sumur TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang