"Sialan, siapa orang itu? Kenapa tiba-tiba ada di sini?" Burhan masih kesal meskipun sudah berhasil mengusir orang tak dikenal yang mencoba menyelamatkan Bajra.
"Mungkin anak itu punya pengawal."
"Pengawal? Memangnya dia anak orang kaya? Harus ada pengawal?" Pertanyaan demi pertanyaan terlontar dari mulut Burhan.
Burhan pantas merasa kesal. Kehadiran orang yang berani bertarung untuk membela Bajra sungguh di luar dugaan. Bahkan, identitas orang itu pun masih menjadi teka-teki; tidak ada ciri khas yang melekat untuk mengenalinya.
"Ah, kita cari saja anak itu. Jangan sampai dia lolos lagi." Burhan mengarahkan lentera kembali ke permukaan air sambil berharap ada ciri-ciri orang yang sedang dicari. "Dia tidak boleh bertemu dengan orang-orang di Koran Batavia, jangan sampai."
Burhan memberi perintah kepada Si Penjaga dan Si Pengawal untuk memeriksa kedua tepian kanal. Dalam beberapa saat, hanya ikan gabus yang tampak berenang di permukaan air.
Sesekali terdengar suara angsa yang berkeliaran di pinggir kanal. Bau kotorannya bercampur dengan bau air kanal yang menggenang karena kemarau panjang. Hewan-hewan itu sudah terbiasa dengan kehadiran manusia. Hanya saja, tampaknya mereka pun tahu manusia seperti apa yang kini tengah mendekatinya."Di mana dia?" Burhan bicara untuk dirinya sendiri, "aku yakin dia belum jauh."
Bola matanya tertuju pada si angsa yang sedang berenang. Dia tidak tertarik untuk menangkap unggas itu apalagi menyembelihnya. Hal yang menarik bagi Burhan, kenapa hewan itu tampak gelisah?
"Hei, berisik!" Si Pengawal kesal karena suara kawanan angsa mengganggu konsentrasi.
"Huss, kau tidak usah terganggu oleh hewan sialan ini. Terus cari anak itu! Dia harus ditemukan malam ini juga." Burhan mempertegas tujuannya berada di sana.
"Ya, Tuan." Si Pengawal mengangguk sambil terus mengarahkan lentera ke berbagai arah. "Tetapi, mungkinkah dia sudah naik ke daratan?"
Burhan mempertimbangkan kemungkinan demikian. Dia tidak memungkiri jika bisa saja orang yang sedang dicarinya memang tidak ada di sekitar kanal. Tetapi, lelaki itu merasa yakin jika Bajra tidak terlihat naik ke daratan.
"Bajra, aku tahu kau belum pergi jauh. Aku tahu kau tidak akan berani ...."
"Tuan, perhatikan gorong-gorong itu," Si Penjaga menunjukkan sebuah lorong gelap berdiameter sekitar 1 meter.
"Ah, aku tidak yakin ...," Si Pengawal menyanggah petunjuk dari kawannya.
Tetapi, Burhan tidak bisa mengabaikan kemungkinan itu begitu saja. Dia memberi perintah untuk mengayuh sampan ke arah gorong-gorong pada salah satu sisi kanal. Lelaki itu tahu jika saluran pembuangan di Batavia terkenal bau dan penuh dengan kotoran dan lumpur. Tetapi, Burhan harus mengabaikan hal demikian.
Bagi lelaki itu, kotor dan bau bukanlah perkara yang bisa merintangi tujuannya. Dia terlahir dan dibesarkan pada suatu tempat yang demikian. Makanya, ketika diberi tugas untuk mengotori tangannya, Burhan tidak menolak. Asalkan, aku memperoleh bayaran yang setimpal.
"Tenang, tidak usah terburu-buru. Dan, jangan berisik ...!" Burhan mendekatkan telunjuk tangan kanannya ke bibir.
Dua anak buahnya bisa saja tenang dan tidak berisik. Tetapi, kawanan angsa itu malah semakin berisik.
Ingin sekali aku menyembelih kalian satu per satu.
Ternyata, suara berisik kawanan angsa itu diartikan sebagai penanda bahaya bagi warga di seputar kanal. Ada tiga orang lelaki yang berjalan mendekat sampan yang ditumpangi Burhan dan dua anak buahnya. Tiga lelaki itu membawa kayu panjang dimana ujungnya memiliki cabang seperti ketapel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Petaka Sumur Tua
Mystery / Thriller"Astaga!" Panca mundur selangkah. Bajra heran dengan sikap kawannya. "Ada apa?" Panca tidak langsung menjawab. Bajra mengerutkan kening. Keduanya sepakat untuk sama-sama menengok kembali ke dalam sumur. Memang agak gelap. Kedalaman sumur tersebut...